Showing posts with label Pendidikan Informal. Show all posts
Showing posts with label Pendidikan Informal. Show all posts

Sunday, May 31, 2009

Pengajaran Bahasa Asing

Antara Sekolah dan Kursus
Anita Lie
PENGUASAAN bahasa asing, terutama bahasa asing yang sedang dominan dalam pergaulan internasional, merupakan salah satu akses untuk meraih keberhasilan dalam berbagai bidang. Peta dominasi bahasa asing selalu berubah, baik di tingkat dunia maupun di suatu negara, seiring dengan perubahan sosial dan politik.
PADA abad pertengahan, bahasa Latin memegang peran penting. Ketika abad pertengahan berganti dengan abad Renaissance dan pencerahan, bahasa Perancis menggeser posisi bahasa Latin. Selanjutnya, revolusi industri dan persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Australia yang makin menguat telah mengukuhkan dominasi bahasa Inggris pada abad ke-20. Apakah dominasi bahasa Inggris akan langgeng di abad ke-21 ini ataukah akan diganti bahasa lain (China, misalnya), amat bergantung pada perkembangan ekonomi, sosial, dan politik selanjutnya.
Dalam konteks itu, pengajaran bahasa asing di Indonesia juga mengalami berbagai perubahan. Dalam pengajaran bahasa, biasanya ada empat bidang keterampilan yang dijadikan acuan kurikulum: mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Sementara itu, tata bahasa merupakan keterampilan yang diajarkan guna meningkatkan penguasaan dalam empat bidang itu. Ironisnya, penekanan yang berlebihan pada tata bahasa ditengarai justru menghambat keterampilan berkomunikasi. Perbedaan penekanan kurikulum bahasa asing di sekolah dan kursus menarik untuk dicermati.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda makin menurun seiring dengan penerimaan bahasa nasional republik yang baru. Meski bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan lingua franca, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing makin mapan dengan keputusan pemerintah memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dan dukungan lembaga-lembaga asing seperti The Ford Foundation, RELO (Regional English Language Office) dan The British Council, serta kebijakan di sektor pendidikan formal, bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di sekolah.
Bahasa asing di sekolah formal
Belajar bahasa Inggris di sekolah dasar (SD) dan menengah (SMP/SMA/SMK) memenuhi dua tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris masih digunakan sebagai faktor penentu guna mendapatkan pekerjaan dan imbalan menarik. Banyak iklan lowongan mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu syarat utama. Meski anak sudah belajar bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya kompetensi dalam bahasa ini di kalangan lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah.
Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan bahasa Inggris, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo, 2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral (1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984), dan kebermaknaan (1994). Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 saat pengajaran bahasa asing bergeser dari behaviorism menuju konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial, dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan, bukan pada struktur bahasa. Mengacu paradigma baru ini, Kurikulum 1984 dan 1994 bercita-cita membangun kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara aktif.
Akan tetapi, cita-cita dalam Kurikulum 1984 dan 1994 sama sekali tidak mendarat dan terlaksana. Buku paket masih berorientasi pada struktur bahasa (Purwo, 1990). Selain itu, sebagian besar guru bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Bagaimana mereka para siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris jika sehari-hari siswa tidak pernah mendengarkan guru bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan benar dan lancar? Tidak heran mereka menjadi gagap saat mendengarkan rekaman berbahasa Inggris dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), apalagi jika diucapkan oleh penutur asli. Kesulitan dalam ujian listening bahasa Inggris bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis (misalnya, tape recorder yang tidak berfungsi optimal), tetapi juga mismatch (ketidakterkaitan) antara apa yang diajarkan dan apa yang diujikan.
Respons lembaga informal
Bahasa Inggris tidak pernah digunakan secara luas sebagai lingua franca bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, terus terjadi peningkatan kebutuhan dan jumlah pemakai bahasa Inggris-mulai dari tingkat paling minim hingga tingkat kemampuan mendekati penutur asli-terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Terinspirasi oleh selebriti idola mereka yang populer lewat stasiun-stasiun televisi ala MTV yang lebih suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas di luar negeri, para kawula muda suka menampilkan diri dalam lingkungan kerja maupun pergaulan sosial dengan berbicara, setidaknya penggalan frase, berbahasa asing untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan mereka.
Merespons kekurangan dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah dan kebutuhan di masyarakat, kursus bahasa asing berkembang amat marak mulai dari kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, CCCL, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de facto masih berkutat pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan berbahasa, kursus-kursus justru menekankan keterampilan berbicara. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan program "lancar berbicara dalam tiga bulan" untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat keterampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli.
Biasanya program oleh penutur asli ditawarkan dengan harga lebih mahal dibandingkan yang diajar guru lokal meski belum tentu guru penutur asli lebih kompeten. Mentalitas pascakolonialisme justru dilakukan orang-orang lokal yang lebih menghargai instruktur penutur asli berbahasa Inggris yang tidak berpengalaman- bahkan kadang tidak terdidik di bidangnya-dibandingkan instruktur lokal yang lancar berbahasa Inggris, berpengalaman, dan terdidik di bidangnya.
Ketepatan dan kelancaran
Proses pembelajaran bahasa asing mencakup hal yang seharusnya saling menunjang, yakni ketepatan dan kelancaran (accuracy dan fluency). Pengajaran di sekolah formal ditengarai terlalu menekankan ketepatan. Meski label kurikulum bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, kenyataannya siswa di kelas tetap saja menghafalkan daftar panjang kata kerja beraturan dan tidak beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Seorang siswa sekolah menengah dengan polos bertanya kepada gurunya, "Sudah enam tahun kami belajar bahasa Inggris. Kapan kami bisa berbicara dan menggunakan bahasa Inggris?" Penekanan berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya menghambat kelancaran berkomunikasi, tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi belajar.
Sebaliknya, di jalur informal, kelancaran berkomunikasi dijadikan fokus. Secara ekstrem, kursus yang menjanjikan "lancar berbicara dalam tiga bulan" akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur bahasa, pelafalan, dan kosakata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan bahasa asing. Memang tidak mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar berbahasa asing dalam waktu singkat. Yang harus disadari, jika ketepatan berbahasa ditinggalkan demi kelancaran, dampak yang bisa muncul di kemudian hari adalah gejala fosilisasi atau kelancaran berbahasa dengan kesalahan-kesalahan yang sudah membatu dan sulit diperbaiki.
Mengingat keberagaman populasi siswa di Indonesia dan variasi kebutuhan masyarakat, para pendidik dan pembuat kebijakan perlu menelaah ulang tujuan, desain, dan implementasi kurikulum bahasa asing. Secara realistis, tidak semua anak Indonesia mempunyai kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Dalam konteks seperti ini, alokasi pengajaran bahasa Inggris selama enam tahun kali (sedikitnya) dua jam seminggu bisa menjadi mubazir.
Seandainya bahasa Inggris tetap diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah dengan alasan pemerataan akses, setiap daerah seyogianya mempunyai kebebasan untuk menentukan tujuan dan desain kurikulum bahasa asing sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat. Di beberapa daerah kemampuan baca lebih dipentingkan. Sementara di daerah lain (misalnya daerah pemasok tenaga kerja Indonesia ke luar negeri), mungkin siswa perlu mengembangkan kompetensi berkomunikasi lisan dalam bahasa asing (bisa Inggris, Arab, atau China) meski seyogianya daerah ini juga punya strategi jangka panjang dan tidak terus terjebak sebagai pemasok TKI bergaji minimal.
Dalam konteks keberagaman dan variasi kebutuhan ini, amat sulit bagi sekolah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswanya. Keberadaan kursus-kursus bahasa asing akan tetap dibutuhkan di masa datang. Bahkan, sekolah dan lembaga informal bisa saling mengisi kekosongan masing-masing dalam pengajaran bahasa asing.
Anita Lie Sekjen Dewan Pendidikan Jatim; Associate Director ASIA TEFL (Teachers of English as a Foreign Language)

Asyiknya Belajar Bahasa Italia

HARUS diakui, budaya Italia belum banyak diketahui bangsa Indonesia. Sejauh ini yang banyak diketahui baru sepenggal-sepenggal bahasa yang dipopulerkan oleh para penyanyi klasik. Dan, Italia tidak hanya Luciano Pavarotti atau Andrea Bocelli.
Bagi sebagian bangsa di Eropa, Italia tidak hanya dikenal bahasanya, tetapi juga imperium dan peninggalan sejarah, pengaruh budayanya, serta musik. Bahkan, hingga kini berbagai istilah musik itu masih digunakan di seluruh dunia. Coba simak istilah-istilah musik seperti largo, lento, larghetto, presto, dan sebagainya yang juga digunakan di Indonesia.
Dalam rangka perkenalan kebudayaan itulah, Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura/IIC) di Jakarta sejak Oktober 2000 membuka kursus bahasa Italia. Berkat gencarnya promosi lewat pameran, pemutaran film, dan pertunjukan musik, keberadaan IIC mulai dikenal masyarakat Indonesia. Universitas Negeri Jakarta (UNJ-dulu IKIP Jakarta) bahkan sudah memiliki dosen penutur asli bahasa Italia, Antonia Rinaldi. Memang di UNJ belum ada jurusan bahasa Italia, tetapi jurusan musik pada Fakultas Bahasa dan Sastra UNJ mewajibkan belajar bahasa Italia kepada mahasiswanya. "Ada istilah dalam musik yang tak bisa diterjemahkan ke bahasa lain. Bagi mahasiswa yang belajar musik, akan lebih baik bila mengerti bahasa Italia," kata Antonia.
"BELAJAR bahasa Italia itu bisa dikatakan gampang, bagi mereka yang berminat. Bagi mereka yang akan mempelajari seni, bahasa Italia akan sangat membantu karena begitu banyak literatur klasik mengenai hal itu," ujar Wandi S Brata, yang selama dua tahun belajar di Roma dan kini menjadi salah satu pimpinan di Gramedia Pustaka Utama.
Tentang bahasa Italia, pernah ada joke menarik. Konon, bahasa Italia disebut sebagai bahasa Latin yang kasar, bahasa Latin bagi para pekerja kasar. Benarkah? Tak ada yang tahu pasti. Yang jelas, bahasa Italia memang mendekati bahasa Latin, hanya saja pengucapannya sama seperti tulisannya.
Di IIC sendiri, kursus dibagi dalam tiga kategori: kelas principianti (pemula) dengan waktu belajar 60 jam (30 kali pertemuan); kelas elementare I; dan kelas elementare avanzata (lanjutan) dengan jam belajar malam hari pukul 19.00-21.00 setiap Selasa dan Kamis, masing-masing dua jam per hari dalam masa belajar 30 kali pertemuan.
Untuk mendorong peserta serius belajar, manajemen IIC menerapkan aturan persentase kehadiran. Peserta yang kehadirannya kurang dari 70 persen tidak boleh ikut ujian. Dan, kini ada 140 peserta per angkatan. Menurut Direktur IIC Prof Ostelio Remi, jumlah ini lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebabnya, mereka yang akan melanjutkan studi ke Italia harus fasih berbicara bahasa itu. Selain itu, ada pula peserta yang perlu bisa berbahasa Italia karena bekerja di perusahaan Italia di Indonesia.
"Mereka yang studi lanjut di negara kami harus fasih berbahasa Italia karena seluruh pelajaran menggunakan bahasa Italia. Tak ada program studi dengan bahasa Inggris. No. Kami orang Italia memakai bahasa Italia," ujar Remi.
Dikatakan, program beasiswa kursus bahasa Italia singkat (tiga-enam bulan) maupun pengambilan tingkat magister menambah jumlah peserta kursus bahasa. Tahun 2003 beasiswa diberikan kepada 22 peserta kursus bahasa selama enam bulan di Kota Siena dan Perugia. Tahun 2004 tercatat sekitar 400 pelamar yang memperebutkan 33 beasiswa!
Adeline Laluyan (24) amat berminat menguasai bahasa Italia. "Sejak dulu saya ingin belajar mode dari sisi bisnis. Saya ingin belajar di Milan," tuturnya. Tahun 2002 ia belajar bahasa Italia secara privat dengan biaya Rp 7 juta di Sekolah Inlingua Italia. Setahun kemudian ia masuk Sekolah Media Statale Mortaro, ikut program bahasa dan kebudayaan Italia selama setahun. Meski Adeline batal sekolah di Milan, ia tetap memelihara kemampuan berbahasa Italia dengan ikut kursus di IIC.
SAMA seperti metode belajar bahasa di pusat-pusat kebudayaan asing, kursus di IIC lebih menekankan pemahaman teks, fasih berbicara, mampu mendengarkan, serta mahir menulis. "Dalam mempelajari bahasa, unsur-unsur itu sama pentingnya," ungkap Antonia Rinaldi. Maka, semua unsur mendapat porsi sama, termasuk pada ujian tiap level.
Agar tak jenuh, IIC melengkapi pelajaran dengan CD-ROM guna melatih kemahiran mendengarkan dan pengucapan, serta ada program jalan-jalan di luar kelas, selain 2.000 buku yang tersedia di perpustakaan.
Proses belajar-mengajar pun dilaksanakan sepenuhnya dalam bahasa Italia. Di kelas Filomena di Mieri, misalnya, saat Kompas masuk ada siswa yang menyapa dengan bahasa Indonesia. Filomena pun langsung menegurnya.
Untuk mempercepat dan menjaga penguasaan bahasa Italia, Prof Ostelio Remi sepanjang tahun menyuguhkan beragam acara mulai dari pemutaran film, konser musik klasik maupun kontemporer, opera, sampai kursus memasak masakan khas Italia. Tanggal 27-29 Juni lalu, umpamanya, IIC menampilkan Roberto Magris Quartet, kelompok seniman musik kaliber dunia asal Italia, di Jakarta. "Acara itu buat saya amat bermanfaat. Maklum, di Jakarta tak banyak komunitas Italia," tutur Adeline.
Bagi pencinta bahasa dan budaya Italia, jangan khawatir kemampuan berbahasa Italia akan hilang. Kini Prof Remi telah menyiapkan acara untuk sepanjang tahun 2005. (tri/ton)

Belajar Bahasa Perancis di CCF

BELAJAR tak harus di lingkungan kelas yang serius. Pusat Bahasa Perancis di Pusat Kebudayaan Perancis (Centre Culturel Français/CCF) Salemba, Jakarta, memberi contoh. Di sana pembelajaran berlangsung serius, tetapi lingkungan belajar yang digunakan terkesan santai dan nyaman. Ada kafe menghadap taman mungil. Perpustakaan, berikut ruang internet, tak hanya menyediakan ribuan komik, majalah, dan buku berbahasa Perancis.

RUANG perpustakaan terdiri atas dua lantai dengan ruang terbuka berbentuk oval penuh berisi buku yang tertata rapi. Tidak hanya itu, ada ruang untuk menonton film meski yang cukup untuk 20 tempat duduk. Juga ada ruang ekshibisi bagi mereka yang menggelar karya seninya.

Hingga kini, jumlah orang Indonesia yang belajar bahasa Perancis cukup tinggi. Menurut Hervè Guillou, Direktur Kursus Bahasa Perancis, rata-rata ada 2.700 siswa per semester atau 5.400 siswa per tahun. Mereka belajar di kelas ekstensif (84 jam selama 21 minggu) masing-masing dua jam per kursus atau empat jam per sekali kursus, biasanya hari Sabtu. Kelas semi-intensif bahasa Perancis umum selama 140 jam (14 minggu), kelas intensif selama 140 jam (tujuh minggu), dan kursus untuk anak-anak selama 27 jam (sembilan minggu). Setiap hari dari pukul 08.00 sampai malam, kecuali hari Minggu, ada kursus. Bagi peserta kursus, Sabtu adalah hari favorit. "Semua ingin kursus hari Sabtu, tetapi tempat terbatas," ujar Didi, staf CCF Salemba.

SUDAH 20 tahun CCF menggelar kursus bahasa Perancis di Jakarta. Menurut Guillou yang juga Wakil Direktur CCF Jakarta, peserta kursus umumnya ingin mampu berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Maka, sejak awal peserta kursus langsung diajarkan percakapan, bukan menggeluti struktur bahasa atau gramatika. Seluruh proses itu diwujudkan dalam aktivitas di kelas, termasuk pemutaran film atau pertunjukan musik.

"Awalnya, para pemula diajari alfabet berikut lafalnya, lalu percakapan sederhana," ujar Louisette, perempuan Indonesia yang sudah 20 tahun mengajar bahasa di CCF.

Selain ingin mampu berkomunikasi dalam bahasa Perancis, sejumlah alasan lain pun muncul dari para peserta. "Saya ikut kursus karena penasaran, bahasanya berbeda dengan yang lain," kata Ajun Komisaris Polisi Darwin Pardede (33), anggota Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Pardede pernah kursus di CCF selama 1,5 tahun. Juli nanti, atas biaya Pemerintah Perancis, selama 10 hari ia akan belajar cara kerja polisi dan bahasa Perancis. Pengalaman itu perlu, sebab Pardede juga mengajar bahasa Perancis kepada anggota Polri.

Siswa lain berkomentar. "Belajar bahasa Perancis lebih sulit dibandingkan bahasa Inggris. Masing-masing benda ada jenisnya, lelaki atau perempuan. Saya suka," tutur Laksmi Indriyah.

Ia sempat stres karena harus kursus lima kali seminggu, dan sekali kursus selama enam jam. "Untung lulus ujian Delf (ujian internasional bahasa Perancis dari Departemen Pendidikan Nasional Perancis-Red)," kata pegawai Kejaksaan Agung yang mendapat beasiswa belajar master ilmu hukum di Universite Aix-Marseille3.

Bagi Roy Septa Abimanyu, sebelum melanjutkan kuliah master bidang geopolitik di Perancis, ia merasa perlu memperdalam kemampuan berbahasa Perancis agar bisa lancar berkomunikasi di sana. "Lancar berbahasa tentu membantu mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari," ungkap Fida Muljono-Laurie, pimpinan Edu France Indonesia.

Kini CCF memiliki 50 guru, semua orang Indonesia yang sudah teruji dan fasih berbahasa Perancis. Bagi peserta kursus yang ingin melanjutkan ke tingkat lebih tinggi, CCF menyediakan kursus khusus untuk bisnis, sekretariat, turisme, dan perhotelan.

BERBEDA dengan yang lain, CCF di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, mulai membuka kursus bagi anak-anak. Ada 12 anak yang mengikuti dengan lama kursus 1,5 jam per hari, dua kali seminggu. Kelas anak-anak ini dibimbing Aida Zacky yang sudah mengajar 23 tahun di CCF. Anak-anak belajar melalui permainan seperti tebak-tebakan dan gambar.

Umumnya peserta anak-anak pintar berbicara karena ada yang pernah sekolah di sekolah Perancis, punya orangtua asal Perancis, atau karena ingin belajar seperti dialami Yudha. Orangtuanya memang tak ikut kursus bahasa Perancis, tetapi entah mengapa anak ini justru ketagihan mempelajarinya.

"Kalau aku dan adikku ingin bisa ngobrol sama nenek," ujar Francoaise sambil menunjuk adiknya, Nathan. Dua siswa itu tiap tahun berlibur ke rumah neneknya di Perancis, tetapi keduanya kesulitan berkomunikasi dengan sang nenek.

Soyez les bienvenues au CCF! (SOELASTRI SOEKIRNO)

Di Goethe-Institut Jakarta

Turis Dilarang Mengajar
MEMPELAJARI bahasa suatu bangsa sama dengan mempelajari kebudayaan bangsa itu. Mengapa? Bahasa adalah produk budaya. Maka, tidak setiap orang bisa mengajarkan bahasa ibunya meski ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan bahasa itu.
DI Goethe-Institut Jakarta, setiap guru harus disiapkan dengan baik. Kami mempunyai 30 guru, semuanya sudah teruji dan selalu di upgrade. Kebanyakan dari mereka adalah sarjana pendidikan, tetapi ada juga yang sarjana psikologi atau teknik sipil. Maka, kebanyakan guru kami dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ, dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP Jakarta). Yang jelas, kami tidak mau menerima turis untuk menjadi guru di sini," papar Frau Maria Fischer-Siregar, Kepala Departemen Kursus Bahasa Goethe-Institut Jakarta.
Diakui, kemampuan guru selalu ditingkatkan. Maka, ada sejumlah program yang dimaksudkan untuk itu, antara lain continuous training (1-2 kali pertemuan tiap bulan), ada program tandem (program guru berdua untuk saling membantu), juga ada program bimbingan di antara para guru sendiri.
Tidak hanya itu, dua tahun sekali (minimal), Goethe-Institut mendatangkan dosen atau profesor ahli dari Jerman untuk menatar para guru. "Beberapa waktu lalu baru diselenggarakan penataran dari seorang guru Jerman, mengenai penggunaan video. Tahun lalu didatangkan seorang profesor untuk memandu seminar di Puncak soal perilaku guru dan dampak proses belajar bagi peserta kursus. Dengan demikian, guru termotivasi dan tidak masuk dalam rutinitas," papar Frau Fischer.
Para guru sendiri selama empat tahun sekali mendapat kesempatan meng-upgrade diri ke Jerman. Kesempatan ini dimaksudkan untuk refreshing di bidang metodik dan didaktik sekaligus untuk mengetahui perkembangan negara Jerman. "Perkembangan negeri Jerman sendiri, sekarang ini amat pesat," ujar Frau Fischer.
HINGGA kini Goethe-Institut selalu dipenuhi peminat. Lebih dari 60 persen peserta kursus adalah anak-anak muda yang ingin melanjutkan studi ke Jerman. Meski demikian, peserta kursus juga ada yang sudah bekerja, ilmuan, mahasiswa jurusan teknik, atau mereka yang ingin mengetahui budaya Jerman.
"Usia 16 tahun hingga 30 tahun adalah masa paling bagus untuk belajar bahasa. Setelah usia 30 tahun memang agak sulit, tetapi tidak berarti tidak bisa. Dan kemampuan menguasai bahasa Jerman memegang peran amat penting bagi siapa pun yang akan belajar ke sana," katanya.
Kursus sendiri dibagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat dasar (Grundstufe) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b); lalu Mittelstufe (tingkat menengah) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b), dan Oberstufe (tingkat atas) selama tiga semester). Dalam pelaksanaannya, peserta kursus bisa mengambil jenis kursus ekstensif (dua kali pertemuan atau enam jam pelajaran per minggu), kursus semi intensif (tiga hari seminggu atau 12 jam pelajaran per minggu), serta intensif (lima hari seminggu atau 24 jam per minggu).
Mereka yang sudah menyelesaikan Grundstufe diperbolehkan mengambil ujian Zertifikat Deutsch atau ujian tingkat dasar dan lulusan dianggap sudah mampu berkomunikasi untuk hidup sehari-hari. Pada pertengahan program Mittelstufe peserta boleh mengikuti ujian Zertifikat Deutsch fur den Beruf, sementara pada akhir program Mittelstufe peserta boleh mengikuti Zentrale Mittelstufenprufung. Sedangkan pada tingkat akhir peserta boleh mengikuti Zentrale Oberstufenprufung, "di atas"-nya lagi masih ada Kleines Deutsches Sprachdiplom dan Grosses Deutsches Sprachdiplom.
Masalahnya kini, sulitkah belajar bahasa Jerman? Bergantung dari mana melihatnya. Tentu saja bahasa Jerman lebih sulit daripada bahasa Indonesia karena struktur kalimatnya lebih rumit. Apalagi, bahasa Jerman tidak hanya diserap secara kognitif, tetapi diserap untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Maka kepada para peserta kursus, selain mengikuti kursus, disarankan masih melakukan kegiatan lain guna menambah pengetahuan.
Oleh karena itu, Goethe-Institut Jakarta juga menyediakan ruang Mediothek atau ruang audio-video. Di ruang itu, peserta kursus bisa mengambil program-program yang diperlukan, baik dalam bentuk CD-Rom, pita audio, maupun video. Waktu penggunaan ruang itu disesuaikan kebutuhan masing-masing peserta.
Bahasa Jerman sebenarnya masih serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris (Germanische sprachen). Ia amat berbeda dengan bahasa Perancis yang serumpun dengan bahasa Italia, Portugis, atau Spanyol yang menginduk ke bahasa Latin.
"Dalam pelaksanaannya, kursus bahasa Jerman di sini mengutamakan practical skill atau skill oriented. Maka, pada ujian terakhir bidang ’mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara’ mendapat bobot lebih besar. Sedangkan gramatika tidak dilatih tersendiri, tetapi dipandang sebagai penunjang dan diajarkan bersamaan dengan ketiga komponen itu. Mendengarkan dan membaca boleh disebut pasif skill, sedangkan menulis dan berbicara adalah aktif skill," kata Frau Fischer menambahkan.
MENYADARI mempelajari bahasa sama dengan memahami budaya, maka Goethe-Institut yang berpusat di Muenchen dan membawahi 128 cabang di seluruh dunia membagi kegiatannya dalam tiga bagian, yaitu bahasa, budaya, dan informasi.
Bagi peserta kursus bahasa, Goethe-Institut Jakarta memungut biaya per semester, besarnya bervariasi bergantung dari jenis kursus yang diambil. Untuk kursus ekstensif biayanya sebesar Rp 1.500.000; semi-intensif sebesar Rp 2.800.000; dan intensif sebesar Rp 5.100.000.
"Jumlah biaya itu sebenarnya baru menutup dari 50 hingga 60 persen biaya kursus. Kekurangannya masih disubsidi Goethe-Institut pusat. Tetapi, jumlah subsidi makin lama makin berkurang dengan harapan suatu saat bisa mandiri," jelas Frau Fishcer.
Melihat besarnya biaya kursus, Goethe-Institut Jakarta memang tidak bisa memberikan beasiswa atau bantuan perseorangan. Beasiswa yang bisa dilakukan adalah yang bersifat multiplikator. Misalnya, tiap semester ada lima mahasiswa UNJ yang akan menjadi guru bahasa Jerman diperbolehkan ikut kursus secara gratis. Dengan demikian, tiap tahun ada paling tidak 10 mahasiswa UNJ bisa ikut kursus gratis.
Tidak hanya itu, Goethe-Institut Jakarta juga membebaskan biaya kursus bagi para guru Jerman. Para guru ini diharuskan melengkapi persyaratan dengan surat dari pihak sekolah. Goethe-Institut juga melakukan kerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Depdiknas. Selain itu Goethe-Institut juga bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam mengembangkan buku pelajaran bahasa Jerman untuk pariwisata.
"Kami sebenarnya ingin membuka kursus bahasa Jerman untuk anak-anak. Tetapi, gurunya belum ada. Mudah-mudahan tahun 2005 bisa diwujudkan," jelas Frau Fischer.(tonny d widiastono)

Bahasa Belanda Tidak Hanya bagi Orang Tua

BAGI sebagian anggota masyarakat, bahasa Belanda sering dinilai "milik" para orang tua. Padahal bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu hukum, sejarah politik, dan budaya Indonesia, kemampuan berbahasa Belanda akan amat membantu. Bahkan, bagi mahasiswa jurusan Belanda, memperlancar kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Belanda masih diperlukan. Untuk itu, di antara mereka sering masih ada yang mengambil kursus bahasa di Erasmus Huis Jakarta.

"Kalau siswa datang sendiri untuk belajar, berarti mereka mempunyai motivasi tinggi untuk belajar," jelas Kees Groeneboer, Konselor Bahasa pada Pusat Bahasa Belanda Erasmus (Erasmus Taalcentrum Jakarta). Kees yang juga ahli linguistik Belanda itu mencontohkan, 85 persen peserta kursus bahasa Belanda umumnya lulus ujian. Dan mereka pasti menguasai bahasa Belanda karena memiliki motivasi belajar yang tinggi.

Tentu saja, belajar bahasa di pusat-pusat kebudayaan amat berbeda dengan belajar di sekolah. Di pusat-pusat kebudayaan, mereka yang belajar bahasa mendapat bimbingan penuh. Dan Hans Groot yang juga konselor pada Erasmus Taalcentrum Jakarta menyebut, untuk belajar bahasa secara efektif butuh kelas kecil. "Guru akan lebih konsentrasi membimbing. Tetapi, bila kelas diisi 30 - 50 siswa, guru bisa stres," katanya. Karena itu, Hans Groot yang juga ahli linguistik bahasa Belanda menyatakan kelas kursusnya maksimal berisi 20 siswa.

Keadaan ini jelas berbeda dengan suasana di sekolah. Di sekolah, tiap kelas bisa diisi lebih dari 40 anak. Motivasi dan perhatian para siswa pun pasti tidak sama. Belum lagi kemampuan guru menyampaikan materi bahasan, yang mungkin tidak sefasih guru-guru di pusat-pusat kebudayaan.

Kehadiran lembaga kursus bahasa Belanda tidak hanya karena alasan sejarah, tetapi lebih disebabkan besarnya minat orang Indonesia belajar bahasa Belanda. Mula-mula, sekelompok pengunjung Pusat Kebudayaan Belanda (Erasmus Huis) yang didirikan tahun 1971 di Jalan Menteng Raya Jakarta ingin kursus bahasa Belanda. Kursus pun diadakan secara ngobrol. Entah mengapa, acara ngobrol-ngobrol santai ini cepat tersebar sehingga jumlah peminat terus meningkat. Keadaan ini mendorong Nederlandse Taalunie (Uni Bahasa Belanda)-organisasi kerja sama Pemerintah Belanda-Belgia dalam bidang bahasa Belanda-mendirikan Erasmus Taalcentrum Jakarta.

Pusat Bahasa Belanda yang terletak berdampingan dengan Pusat Kebudayaan Belanda itu-kini di Kuningan Jakarta Selatan-terus berkembang dan menjadi salah satu pilihan utama untuk belajar bahasa Belanda. Setiap tahun institusi itu meluluskan sekitar 1.500 peserta kursus.

BANYAKNYA peminat kursus bahasa Belanda tak bisa dipisahkan dari masa lalu. Sebagai bekas jajahan Belanda selama 3,5 abad, banyak sejarah negeri ini ditulis dalam bahasa Belanda. Kentalnya pengaruh hukum Belanda kepada hukum di Indonesia "memaksa" orang menguasai bahasa Belanda untuk memahami hukum yang berlaku di sini. Tetapi, ini semua tidak berarti bahwa bahasa Belanda hanya "bagi " orang-orang tua. Kurang yakin? Coba simak data peserta kursus. "Sebanyak 90 persen peserta kursus berusia 20-30 tahun. Mereka ingin studi, bekerja, atau karena ingin bisa fasih berbahasa Belanda," jelas Groeneboer.

Mengingat peserta kursus punya tujuan yang berbeda, Erasmus Taalcentrum selalu bertanya alasan belajar bahasa Belanda dan untuk apa butuh bahasa Belanda. Jawabannya akan menentukan metode pembelajaran bagi yang bersangkutan. Untuk mahasiswa ilmu hukum atau sejarah, guru menekankan bagaimana bisa membaca, mengerti, dan menerjemahkan teks yuridis atau historis.

Kalau untuk komunikasi, peserta diajari bagaimana ia paham ucapan lawan bicara, bertanya, dan menjawab pertanyaan. Ada alat bantu berupa buku, kamus, dan kaset. Selain itu, peserta kursus menggunakan laboratorium bahasa untuk latihan dan mengevaluasi kemahiran mendengar, mengucapkan kata, dan menulisnya.

Pelatihan singkat dan padat selama tiga bulan diterapkan kepada mereka yang akan bersekolah ke Belanda, seperti 12 perawat dari Maluku yang belajar ilmu keperawatan. Mereka harus belajar semua sisi kebahasaan selama lima jam per hari.

"Begitu selesai satu bab, langsung tes di lab. Kalau nilainya di bawah 75 persen dari total soal, kami tak lulus," tutur Yopi dari RSUD dr M Haulussy, Ambon. Ia beserta Semy, Sali, Jefri, Dian, Adri, Victor, dan lainnya harus belajar mendengar dan pengucapan setiap hari. "Biarpun sudah menerima bea siswa, jika tak lulus kursus, beasiswa akan gugur," kata Sali.

SECARA umum, tujuan pembelajaran bahasa Belanda di Indonesia oleh Erasmus Taalcentrum untuk berkomunikasi sehingga guru sejak awal melatih kemahiran percakapan, mendengar, dan membaca. "Menulis menjadi penekanan terakhir karena paling sulit," tutur Groot.

Bagaimana dengan gramatika yang sering menjadi "hantu" siswa Indonesia dalam belajar bahasa asing. "Kami mengajarkan sambil berjalan. Yang penting kami suka jika siswa berani berbicara. Kalau ada kata salah akan diperbaiki sambil berjalan. Lama-lama dia terlatih sendiri," tambahnya. Berdasar penekanan itu, tak heran jika Pusat Bahasa Belanda yang memiliki 11 kelas melengkapi diri dengan tiga lab bahasa.

Agaknya itulah kunci belajar bahasa asing di pusat-pusat bahasa. Di sini, belajar bahasa tidak terpaku pada tata bahasa, yang penting mampu berbicara secara benar. Tak heran bila Pusat Bahasa Belanda di Jakarta memakai moto "Bahasa Belanda menarik untuk diucapkan, menyenangkan untuk di dengar, dan mudah untuk dipelajari". (SOELASTRI SOEKIRNO)

Pelajaran Bahasa Asing di Sekolah

Adakah yang Salah?
BANYAK orang bertanya-tanya, mengapa lulusan SMA sekarang tak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Padahal, bahasa asing yang merupakan bahasa dunia itu sudah diajarkan sejak SMP. Artinya, selama enam tahun, bahasa Inggris sudah diajarkan di sekolah. Bahkan, saat ini banyak anak sudah menerima pelajaran bahasa Inggris sejak SD. Adakah yang keliru dalam proses pembelajaran?
KEADAAN ini jelas berbeda dengan apa yang dialami kebanyakan orangtua kita, terutama yang sempat mengenyam pendidikan di zaman Belanda. Di zaman Belanda, lulus AMS (Algemene Middelbare School-setingkat SMA) untuk kelompok non-eksakta, bisa dipastikan akan fasih berbahasa asing. Bahasa asing yang dikuasai pun tidak hanya Belanda yang digunakan untuk proses belajar-mengajar setiap hari, tetapi juga mampu dan fasih berbahasa Jerman, Perancis, dan tak jarang ada bahasa asing lain.
Keadaan ini amat jauh berbeda dengan kemampuan lulusan SMA sekarang. Banyak anak mengeluhkan ujian listening Bahasa Inggris dalam Ujian Akhir Nasional (UAN) kali ini.
"Materinya sendiri sebenarnya tidak begitu sulit. Hanya karena banyak anak tidak terbiasa dengan mendengarkan, mereka gelagapan, tidak bisa memahami apa yang dikemukakan. Belum lagi kalau sekolah tidak menyediakan peralatan memadai, bisa dipastikan anak- anak akan kesulitan," ujar Rudi, guru Bahasa Inggris di sebuah SMA swasta di bilangan Matraman, Jakarta Timur.
Sedikit mengungkap apa yang terjadi saat ujian listening Bahasa Inggris dalam UAN lalu, dikisahkan, ada sekolah yang terpaksa menghentikan pemutaran kaset karena terganggu derum knalpot bajaj yang sedang lewat. Belum lagi tape recorder yang digunakan pun tidak mampu menghasilkan suara dengan kualitas bagus.
Belum terbiasanya anak- anak mendengarkan percakapan bahasa asing, tidak siap/mampunya guru memberikan contoh percakapan yang bagus, dan minimnya fasilitas yang tersedia, untuk saat ini dianggap menjadi penghambat anak-anak menguasai bahasa asing.
"MENURUT pengamatan saya, bahasa Inggris yang dilakukan di Indonesia ini mau meniru dan mencoba sistem yang berlaku di luar negeri. Tentu saja keliru karena bahasa ibu yang kita gunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia. Sedangkan apa yang akan dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional itu mengandaikan bahasa ibu yang digunakan siswa adalah bahasa Inggris, seperti cara Amerika Serikat atau Australia. Sejak kecil anak-anak di sana sudah hidup dalam lingkungan yang menggunakan bahasa Inggris. Dengan demikian, metode yang digunakannya pun tak banyak mengalami masalah," ujar guru lainnya.
Diakui, banyak sekolah kini sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang bagus dan canggih. Banyak sekolah kini sudah memiliki laboratorium bahasa. Akan tetapi, kenyataannya, banyak laboratorium bahasa itu tidak digunakan. Alasan utama, guru tidak tahu bagaimana mengucapkan bahasa Inggris secara benar. Akibatnya, peralatan yang canggih, bagus, dan berharga mahal itu mubazir, terlihat rapi tetapi belum pernah digunakan.
"Para siswa pun pada akhirnya tidak pernah mendapat telaah pembicaraan dan listening secara benar," lanjut Rudi.
Persoalannya, secanggih apa pun peralatan yang dimiliki sekolah, apabila guru yang seharusnya mengajar tidak memiliki kemampuan berbahasa Inggris secara benar, bicara pun tidak fasih, bagaimana mungkin bisa mengajarkan bahasa Inggris secara benar.
Memang, mengajar bahasa Inggris tidak perlu harus menggunakan penutur asli (native speaker). Sebab, penutur asli belum tentu memahami apa yang menjadi kesulitan para siswa Indonesia saat belajar bahasa asing. Apalagi belajar bahasa adalah kegiatan yang bersifat individual dan perlu pemahaman lebih mendalam, tidak sekadar kognitif. Maka, apabila kelancaran berbahasa asing dijadikan keutamaan dengan mengundang native speaker (yang kadang hanya turis), dikhawatirkan justru akan melahirkan gejala baru, mengentalnya kesalahan (bila ada) yang pada saatnya akan sulit diperbaiki.
MESKI demikian, sejumlah pengamat melihat adanya "ketidakberesan" dalam proses belajar-mengajar bahasa asing, terutama bahasa Inggris, di sekolah. Alasan utamanya, seperti gugatan awal, lulusan SMA tak mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Padahal, sebagai bahasa asing yang mendunia, bahasa Inggris akan tetap diperlukan, baik untuk bisa membaca teks berbahasa Inggris di perguruan tinggi maupun sebagai salah satu faktor "plus" dalam mencari pekerjaan. Tengok saja, betapa banyak iklan lowongan pekerjaan yang mensyaratkan menguasai bahasa Inggris aktif maupun pasif bagi para pelamar.
Diakui, untuk memenuhi kebutuhan itu, kurikulum yang berlaku di sekolah sudah banyak mengalami perubahan. Berbagai pendekatan pun sudah banyak dilakukan. Hasilnya, tetap sama saja. (Baca juga Pengajaran Bahasa Asing, Antara Sekolah dan Kursus)
"Kurikulum 1984 itu sebenarnya bagus. Sebab, di sana anak-anak dilatih untuk memahami dasar atau gramatika secara benar. Seandainya kurikulum itu diberlakukan sekarang, terutama di sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas laboratorium bahasa lengkap, dan guru-guru yang mengajar memiliki kompetensi, bisa dipastikan hasilnya pasti akan bagus," ungkap Rudi.
Kurikulum 1984 berkeinginan membangun siswa untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Dengan kurikulum itu, hasil yang ingin dicapai ialah, para siswa mampu menguasai bahasa Inggris secara aktif. Namun, lagi-lagi kendala besar masih menghadang. Banyak guru Bahasa Inggris sebenarnya kurang mampu mengajarkan bahasa Inggris dan buku pelajaran yang digunakan masih mementingkan struktur bahasa alias gramatika.
"Bagaimana bisa mengajarkan bahasa Inggris dengan baik kalau guru sendiri tidak mampu berbicara dalam bahasa Inggris dengan lancar, dan tidak paham akan apa yang diajarkan. Kalau situasinya seperti ini, bagaimana mereka bisa mengajak para siswa berkomunikasi dalam bahasa Inggris?" ujar pengamat yang lain.
Ketidakmampuan sekolah mengajarkan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, mendorong munculnya kursus-kursus bahasa. Para pengelola kursus menyadari betul kebutuhan masyarakat akan bahasa Inggris, baik untuk keperluan sekolah maupun untuk mencari pekerjaan. Maka, tak mengherankan bila lembaga-lembaga kursus bahasa tumbuh menjamur. Tak terbilang berapa jumlah kursus bahasa Inggris yang terserak di seluruh Indonesia ini. Bahkan, bagi masyarakat Jakarta yang suka mendengarkan radio, akhir-akhir ini muncul iklan yang menawarkan kursus bahasa Inggris dalam waktu tiga minggu. Meski dalam waktu tiga minggu, kata iklan itu, peserta kursus dijamin pasti bisa berbahasa Inggris.
Para pengelola kursus tahu betul apa yang diperlukan masyarakat. Ketika sekolah dalam kenyataannya masih berkutat pada masalah gramatika dan berbagai aturan berbahasa, kursus bahasa menawarkan keterampilan berbicara.
Meskipun demikian, sejumlah pusat kebudayaan yang juga hadir dengan kursus-kursus bahasanya benar-benar jauh dari tujuan komersial. Goethe Institut di Jakarta, misalnya, tidak sepenuhnya berjalan berdasarkan uang pendaftaran peserta kursus. Lembaga itu masih disubsidi oleh Goethe Institut pusat di Jerman. Hal yang sama terjadi pada Pusat Kebudayaan Perancis (CCF) atau Erasmus Huis.
"Yang kami lakukan di sini adalah menyiapkan anak-anak muda Indonesia yang ingin belajar bahasa Jerman dengan baik. Kebanyakan dari mereka umumnya mau melanjutkan studi ke Jerman. Selain itu, kami juga memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat Indonesia lainnya yang ingin mempelajari bahasa Jerman. Maka, usia pun tidak pernah dibatasi," ujar Maria Fischer dari Goethe Institut.
Metode yang dilakukan di sejumlah kursus bahasa asing yang menginduk pada pusat-pusat kebudayaan perwakilan negara sahabat umumnya lebih menekankan practical skill atau skill oriented, bukan pemahaman secara mendalam mengenai gramatika. Maka, kepada para peserta kursus umumnya didorong untuk mampu berbicara, mampu mengungkapkan pendapat dan pikirannya. Kalaupun ada gramatika yang keliru, akan dibetulkan "sambil jalan".
Itu sebabnya bobot penilaian saat ujian pun amat berbeda dengan yang terjadi di sekolah. Kemampuan membaca, mendengarkan, menulis, dan berbicara mendapat bobot paling tinggi, sementara gramatika "dianggap" sebagai penunjang.
Agaknya, pendekatan yang berbeda ini mampu melahirkan pembelajar bahasa yang fasih berbahasa asing. (tonny d widiastono)