Selasa, 02 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) – “Kitab Kuning (turats) adalah simbol keilmuan pesantren; suatu trade mark yang lekat dengan dunia pesantren “, demikian dikatakan Drs. H. Suryadharma Ali, M. Si, Menteri Negara Koperasi Dan UKM pada pembukaan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional III di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan (01/12/08). Dalam kerangka itulah, lanjut Suryadharma, menyambut baik dan memberikan apresiasi yang sepatutnya terhadap penyelenggaraan Musabaqah Qira’at al-Kutub (MQK) ini sebagai ajang prestisius kalangan santri yang memiliki kualifikasi dan pendalaman isi kitab kuning.
Dan diharapkan, tandas Suryadharma, musabaqah ini dapat menjadi pemantik (trigger), daya dorong yang kuat bagi santri untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam berbagai cabangnya seperti; Al-Qur’an, Hadits, Ushul, Lughah, dan lain-lain. Disamping itu, musabaqah ini bisa memperkuat fungsi pesantren, yakni maintenance of islamic knowledge (melestarikan warisan pengetahuan Islam yang diperoleh secara turun temurun dari generasi salaf as-shalih), dan melahirkan ulama yang berkarakter luhur dan memiliki kapasitas keilmuan tinggi.
Dalam wawancaranya dengan media, Suryadharma yang juga ketua salah satu parpol ini menegaskan bahwa kitab kuning menjadi pengetahuan yang komtemporer karena kitab kuning masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan. “Kalau ada permasalah baru yang belum ada hukumnya, maka kitab kuning akan menjadi rujukan untuk memmecahkan masalah-masalah tersebut”.
Namun patut disayangkan, lanjut Suryadharma, sekarang ini tradisi menulis sekarang ini berkurang dibandingkan dengan pada jaman dulu. “Ulama‘ sekaliber Syekh Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Palimbani, Nawawi Al-Bantani, Mahfudz Termas, Ihsan Jampes, Soleh Darat Al-Samarani, dan Syekh Yasin Al-Padangi adalah ulama‘-penulis yang produktif dan menghasilkan karya-kaya monumental yang dapat dibaca dan dipelajari oleh kita hingga saat ini. Sayangnya, tradisi kepengarangan tersebut seakan padam di lingkungan pesantren”.
Namun hal lain yang positif, lanjut Suryadharma, tradisi membaca, memperdebatkan dan mempelajari kitab kuning terus berlangsung di pondok pesantren. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=154
Dan diharapkan, tandas Suryadharma, musabaqah ini dapat menjadi pemantik (trigger), daya dorong yang kuat bagi santri untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam berbagai cabangnya seperti; Al-Qur’an, Hadits, Ushul, Lughah, dan lain-lain. Disamping itu, musabaqah ini bisa memperkuat fungsi pesantren, yakni maintenance of islamic knowledge (melestarikan warisan pengetahuan Islam yang diperoleh secara turun temurun dari generasi salaf as-shalih), dan melahirkan ulama yang berkarakter luhur dan memiliki kapasitas keilmuan tinggi.
Dalam wawancaranya dengan media, Suryadharma yang juga ketua salah satu parpol ini menegaskan bahwa kitab kuning menjadi pengetahuan yang komtemporer karena kitab kuning masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan. “Kalau ada permasalah baru yang belum ada hukumnya, maka kitab kuning akan menjadi rujukan untuk memmecahkan masalah-masalah tersebut”.
Namun patut disayangkan, lanjut Suryadharma, sekarang ini tradisi menulis sekarang ini berkurang dibandingkan dengan pada jaman dulu. “Ulama‘ sekaliber Syekh Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Palimbani, Nawawi Al-Bantani, Mahfudz Termas, Ihsan Jampes, Soleh Darat Al-Samarani, dan Syekh Yasin Al-Padangi adalah ulama‘-penulis yang produktif dan menghasilkan karya-kaya monumental yang dapat dibaca dan dipelajari oleh kita hingga saat ini. Sayangnya, tradisi kepengarangan tersebut seakan padam di lingkungan pesantren”.
Namun hal lain yang positif, lanjut Suryadharma, tradisi membaca, memperdebatkan dan mempelajari kitab kuning terus berlangsung di pondok pesantren. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=154
No comments:
Post a Comment