Rabu, 03 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) - ”Budaya kitab kuning yang menguasai pesantren, ternyata bisa diterapkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern ini”. Demikian dikatakan Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan, MA, Mantan Menteri Agama RI dalam sarasehan ”Memperkuat Kelembagaan MQK, Membangun Tradisi Keilmuan Pesantren” pada acara MQK Nasioanl III di Banjarmasi Kalimantan Selatan (2/1208). Sesuai dengan tema ”Kontekstualisasi Kandungan Kitab Kuning di Era Global”, Kyai Tolhah mengatakan bahwa bukan sekarang saja kontekstualisasi terjadi akan tetapi sejak belum ada kitab kuning sampai kitab kunig mulai ada, usaha menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat telah terjadi.
Menyinggung tentang perkembangan kitab kuning sampai sekarang, lanjut Tolhah, lebih dikarenakan beberapa faktor; pertama, munculnya masyarakat muslim kosmopolitan yang membutuhkan pelayanan mulai akhir abad 1 H. Kedua, lahirnya ilmu-ilmu naqliyah & aqliyah secara spektakuler di dunia Islam. Ketiga, tersedianya fasilitas penulisan, terutama kertas. Keempat, banyaknya ulama dan cendekiawan Islam yang kompeten suka menulis dan membaca. Dan kelima sikap para penguasa yang cinta ilmu dan budaya.
Kemudian, mengapa kontekstualisasi kandungan kitab kuning menjadi penting, tegas murid KH. Hasyim Asy’ari. Pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. ”Kalau hal ini tidak diperhatikan maka masyarakat tidak akan lagi tertarik dengan pesantren”. Kedua, terjadinya realitas kepentingan umat.
Ketiga, adanya temuan baru dalam iptek. Dulu ulama berijma’ bahwa bumi ini tidak bergerak kecuali bila ada faktor lain. Kalau pemahaman ini tidak dikontekstualisasikan, maka kitab kuning tidak aka menarik untuk dipelajari. Keempat, adanya tantanga baru yang dihadapi umat. Maka, perlu ada kesepakatan baru para ulama tentang kedua hal terakhir tsb, tegas Tolhah.
Sementara itu H. Amin Haedari, Direktur PD Pontren Departemen Agama dalam sambutan sarasehan ini mengatakan bahwa dengan forum ini, tidak hanya musabaqah saja akan tetapi mencoba memberi rangsangan, memfasilitasi dan dorongan agar lahir lagi karya-karya ulama yang nantinya bisa mewarnai pemikiran keagamaan yang ada di Indonesia.
Sedangkan H. Abdullah Syarwani, mantan Duta Besar Lebanon, berbicara tentang pengembangan MQK, Ia berpendapat agar MQK ini menjadi leadnya pengembangan pesantren. Acara ini tidak hanya diselenggarakkan selama 2 tahun sekali, tetapi disetiap pesantren harus merupakan kegiatan yang berkesinambungan.
Bahkan bukan mustahil MQK akan lebih besar dan lebih strategis daripada MTQ kalau MTQ tidak diikuti musabaqah tafsirnya, lanjut Syarwani. Iqra dalam membaca kitab kuning bukan sekedar membaca secara fisik, melek huruf. Akan tetapi iqra diterjemahkan memahami secara mendalam, research. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=157
Menyinggung tentang perkembangan kitab kuning sampai sekarang, lanjut Tolhah, lebih dikarenakan beberapa faktor; pertama, munculnya masyarakat muslim kosmopolitan yang membutuhkan pelayanan mulai akhir abad 1 H. Kedua, lahirnya ilmu-ilmu naqliyah & aqliyah secara spektakuler di dunia Islam. Ketiga, tersedianya fasilitas penulisan, terutama kertas. Keempat, banyaknya ulama dan cendekiawan Islam yang kompeten suka menulis dan membaca. Dan kelima sikap para penguasa yang cinta ilmu dan budaya.
Kemudian, mengapa kontekstualisasi kandungan kitab kuning menjadi penting, tegas murid KH. Hasyim Asy’ari. Pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. ”Kalau hal ini tidak diperhatikan maka masyarakat tidak akan lagi tertarik dengan pesantren”. Kedua, terjadinya realitas kepentingan umat.
Ketiga, adanya temuan baru dalam iptek. Dulu ulama berijma’ bahwa bumi ini tidak bergerak kecuali bila ada faktor lain. Kalau pemahaman ini tidak dikontekstualisasikan, maka kitab kuning tidak aka menarik untuk dipelajari. Keempat, adanya tantanga baru yang dihadapi umat. Maka, perlu ada kesepakatan baru para ulama tentang kedua hal terakhir tsb, tegas Tolhah.
Sementara itu H. Amin Haedari, Direktur PD Pontren Departemen Agama dalam sambutan sarasehan ini mengatakan bahwa dengan forum ini, tidak hanya musabaqah saja akan tetapi mencoba memberi rangsangan, memfasilitasi dan dorongan agar lahir lagi karya-karya ulama yang nantinya bisa mewarnai pemikiran keagamaan yang ada di Indonesia.
Sedangkan H. Abdullah Syarwani, mantan Duta Besar Lebanon, berbicara tentang pengembangan MQK, Ia berpendapat agar MQK ini menjadi leadnya pengembangan pesantren. Acara ini tidak hanya diselenggarakkan selama 2 tahun sekali, tetapi disetiap pesantren harus merupakan kegiatan yang berkesinambungan.
Bahkan bukan mustahil MQK akan lebih besar dan lebih strategis daripada MTQ kalau MTQ tidak diikuti musabaqah tafsirnya, lanjut Syarwani. Iqra dalam membaca kitab kuning bukan sekedar membaca secara fisik, melek huruf. Akan tetapi iqra diterjemahkan memahami secara mendalam, research. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=157
No comments:
Post a Comment