MEMPELAJARI bahasa suatu bangsa sama dengan mempelajari kebudayaan bangsa itu. Mengapa? Bahasa adalah produk budaya. Maka, tidak setiap orang bisa mengajarkan bahasa ibunya meski ia lahir dan dibesarkan dalam lingkungan bahasa itu.
DI Goethe-Institut Jakarta, setiap guru harus disiapkan dengan baik. Kami mempunyai 30 guru, semuanya sudah teruji dan selalu di upgrade. Kebanyakan dari mereka adalah sarjana pendidikan, tetapi ada juga yang sarjana psikologi atau teknik sipil. Maka, kebanyakan guru kami dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ, dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP Jakarta). Yang jelas, kami tidak mau menerima turis untuk menjadi guru di sini," papar Frau Maria Fischer-Siregar, Kepala Departemen Kursus Bahasa Goethe-Institut Jakarta.
Diakui, kemampuan guru selalu ditingkatkan. Maka, ada sejumlah program yang dimaksudkan untuk itu, antara lain continuous training (1-2 kali pertemuan tiap bulan), ada program tandem (program guru berdua untuk saling membantu), juga ada program bimbingan di antara para guru sendiri.
Tidak hanya itu, dua tahun sekali (minimal), Goethe-Institut mendatangkan dosen atau profesor ahli dari Jerman untuk menatar para guru. "Beberapa waktu lalu baru diselenggarakan penataran dari seorang guru Jerman, mengenai penggunaan video. Tahun lalu didatangkan seorang profesor untuk memandu seminar di Puncak soal perilaku guru dan dampak proses belajar bagi peserta kursus. Dengan demikian, guru termotivasi dan tidak masuk dalam rutinitas," papar Frau Fischer.
Para guru sendiri selama empat tahun sekali mendapat kesempatan meng-upgrade diri ke Jerman. Kesempatan ini dimaksudkan untuk refreshing di bidang metodik dan didaktik sekaligus untuk mengetahui perkembangan negara Jerman. "Perkembangan negeri Jerman sendiri, sekarang ini amat pesat," ujar Frau Fischer.
HINGGA kini Goethe-Institut selalu dipenuhi peminat. Lebih dari 60 persen peserta kursus adalah anak-anak muda yang ingin melanjutkan studi ke Jerman. Meski demikian, peserta kursus juga ada yang sudah bekerja, ilmuan, mahasiswa jurusan teknik, atau mereka yang ingin mengetahui budaya Jerman.
"Usia 16 tahun hingga 30 tahun adalah masa paling bagus untuk belajar bahasa. Setelah usia 30 tahun memang agak sulit, tetapi tidak berarti tidak bisa. Dan kemampuan menguasai bahasa Jerman memegang peran amat penting bagi siapa pun yang akan belajar ke sana," katanya.
Kursus sendiri dibagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat dasar (Grundstufe) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b); lalu Mittelstufe (tingkat menengah) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b), dan Oberstufe (tingkat atas) selama tiga semester). Dalam pelaksanaannya, peserta kursus bisa mengambil jenis kursus ekstensif (dua kali pertemuan atau enam jam pelajaran per minggu), kursus semi intensif (tiga hari seminggu atau 12 jam pelajaran per minggu), serta intensif (lima hari seminggu atau 24 jam per minggu).
Mereka yang sudah menyelesaikan Grundstufe diperbolehkan mengambil ujian Zertifikat Deutsch atau ujian tingkat dasar dan lulusan dianggap sudah mampu berkomunikasi untuk hidup sehari-hari. Pada pertengahan program Mittelstufe peserta boleh mengikuti ujian Zertifikat Deutsch fur den Beruf, sementara pada akhir program Mittelstufe peserta boleh mengikuti Zentrale Mittelstufenprufung. Sedangkan pada tingkat akhir peserta boleh mengikuti Zentrale Oberstufenprufung, "di atas"-nya lagi masih ada Kleines Deutsches Sprachdiplom dan Grosses Deutsches Sprachdiplom.
Masalahnya kini, sulitkah belajar bahasa Jerman? Bergantung dari mana melihatnya. Tentu saja bahasa Jerman lebih sulit daripada bahasa Indonesia karena struktur kalimatnya lebih rumit. Apalagi, bahasa Jerman tidak hanya diserap secara kognitif, tetapi diserap untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Maka kepada para peserta kursus, selain mengikuti kursus, disarankan masih melakukan kegiatan lain guna menambah pengetahuan.
Oleh karena itu, Goethe-Institut Jakarta juga menyediakan ruang Mediothek atau ruang audio-video. Di ruang itu, peserta kursus bisa mengambil program-program yang diperlukan, baik dalam bentuk CD-Rom, pita audio, maupun video. Waktu penggunaan ruang itu disesuaikan kebutuhan masing-masing peserta.
Bahasa Jerman sebenarnya masih serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris (Germanische sprachen). Ia amat berbeda dengan bahasa Perancis yang serumpun dengan bahasa Italia, Portugis, atau Spanyol yang menginduk ke bahasa Latin.
"Dalam pelaksanaannya, kursus bahasa Jerman di sini mengutamakan practical skill atau skill oriented. Maka, pada ujian terakhir bidang ’mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara’ mendapat bobot lebih besar. Sedangkan gramatika tidak dilatih tersendiri, tetapi dipandang sebagai penunjang dan diajarkan bersamaan dengan ketiga komponen itu. Mendengarkan dan membaca boleh disebut pasif skill, sedangkan menulis dan berbicara adalah aktif skill," kata Frau Fischer menambahkan.
MENYADARI mempelajari bahasa sama dengan memahami budaya, maka Goethe-Institut yang berpusat di Muenchen dan membawahi 128 cabang di seluruh dunia membagi kegiatannya dalam tiga bagian, yaitu bahasa, budaya, dan informasi.
Bagi peserta kursus bahasa, Goethe-Institut Jakarta memungut biaya per semester, besarnya bervariasi bergantung dari jenis kursus yang diambil. Untuk kursus ekstensif biayanya sebesar Rp 1.500.000; semi-intensif sebesar Rp 2.800.000; dan intensif sebesar Rp 5.100.000.
"Jumlah biaya itu sebenarnya baru menutup dari 50 hingga 60 persen biaya kursus. Kekurangannya masih disubsidi Goethe-Institut pusat. Tetapi, jumlah subsidi makin lama makin berkurang dengan harapan suatu saat bisa mandiri," jelas Frau Fishcer.
Melihat besarnya biaya kursus, Goethe-Institut Jakarta memang tidak bisa memberikan beasiswa atau bantuan perseorangan. Beasiswa yang bisa dilakukan adalah yang bersifat multiplikator. Misalnya, tiap semester ada lima mahasiswa UNJ yang akan menjadi guru bahasa Jerman diperbolehkan ikut kursus secara gratis. Dengan demikian, tiap tahun ada paling tidak 10 mahasiswa UNJ bisa ikut kursus gratis.
Tidak hanya itu, Goethe-Institut Jakarta juga membebaskan biaya kursus bagi para guru Jerman. Para guru ini diharuskan melengkapi persyaratan dengan surat dari pihak sekolah. Goethe-Institut juga melakukan kerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Depdiknas. Selain itu Goethe-Institut juga bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam mengembangkan buku pelajaran bahasa Jerman untuk pariwisata.
"Kami sebenarnya ingin membuka kursus bahasa Jerman untuk anak-anak. Tetapi, gurunya belum ada. Mudah-mudahan tahun 2005 bisa diwujudkan," jelas Frau Fischer.(tonny d widiastono)
DI Goethe-Institut Jakarta, setiap guru harus disiapkan dengan baik. Kami mempunyai 30 guru, semuanya sudah teruji dan selalu di upgrade. Kebanyakan dari mereka adalah sarjana pendidikan, tetapi ada juga yang sarjana psikologi atau teknik sipil. Maka, kebanyakan guru kami dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ, dulu Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan/IKIP Jakarta). Yang jelas, kami tidak mau menerima turis untuk menjadi guru di sini," papar Frau Maria Fischer-Siregar, Kepala Departemen Kursus Bahasa Goethe-Institut Jakarta.
Diakui, kemampuan guru selalu ditingkatkan. Maka, ada sejumlah program yang dimaksudkan untuk itu, antara lain continuous training (1-2 kali pertemuan tiap bulan), ada program tandem (program guru berdua untuk saling membantu), juga ada program bimbingan di antara para guru sendiri.
Tidak hanya itu, dua tahun sekali (minimal), Goethe-Institut mendatangkan dosen atau profesor ahli dari Jerman untuk menatar para guru. "Beberapa waktu lalu baru diselenggarakan penataran dari seorang guru Jerman, mengenai penggunaan video. Tahun lalu didatangkan seorang profesor untuk memandu seminar di Puncak soal perilaku guru dan dampak proses belajar bagi peserta kursus. Dengan demikian, guru termotivasi dan tidak masuk dalam rutinitas," papar Frau Fischer.
Para guru sendiri selama empat tahun sekali mendapat kesempatan meng-upgrade diri ke Jerman. Kesempatan ini dimaksudkan untuk refreshing di bidang metodik dan didaktik sekaligus untuk mengetahui perkembangan negara Jerman. "Perkembangan negeri Jerman sendiri, sekarang ini amat pesat," ujar Frau Fischer.
HINGGA kini Goethe-Institut selalu dipenuhi peminat. Lebih dari 60 persen peserta kursus adalah anak-anak muda yang ingin melanjutkan studi ke Jerman. Meski demikian, peserta kursus juga ada yang sudah bekerja, ilmuan, mahasiswa jurusan teknik, atau mereka yang ingin mengetahui budaya Jerman.
"Usia 16 tahun hingga 30 tahun adalah masa paling bagus untuk belajar bahasa. Setelah usia 30 tahun memang agak sulit, tetapi tidak berarti tidak bisa. Dan kemampuan menguasai bahasa Jerman memegang peran amat penting bagi siapa pun yang akan belajar ke sana," katanya.
Kursus sendiri dibagi dalam beberapa tingkatan. Tingkat dasar (Grundstufe) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b); lalu Mittelstufe (tingkat menengah) selama empat semester (1a, 1b, 2a, 2b), dan Oberstufe (tingkat atas) selama tiga semester). Dalam pelaksanaannya, peserta kursus bisa mengambil jenis kursus ekstensif (dua kali pertemuan atau enam jam pelajaran per minggu), kursus semi intensif (tiga hari seminggu atau 12 jam pelajaran per minggu), serta intensif (lima hari seminggu atau 24 jam per minggu).
Mereka yang sudah menyelesaikan Grundstufe diperbolehkan mengambil ujian Zertifikat Deutsch atau ujian tingkat dasar dan lulusan dianggap sudah mampu berkomunikasi untuk hidup sehari-hari. Pada pertengahan program Mittelstufe peserta boleh mengikuti ujian Zertifikat Deutsch fur den Beruf, sementara pada akhir program Mittelstufe peserta boleh mengikuti Zentrale Mittelstufenprufung. Sedangkan pada tingkat akhir peserta boleh mengikuti Zentrale Oberstufenprufung, "di atas"-nya lagi masih ada Kleines Deutsches Sprachdiplom dan Grosses Deutsches Sprachdiplom.
Masalahnya kini, sulitkah belajar bahasa Jerman? Bergantung dari mana melihatnya. Tentu saja bahasa Jerman lebih sulit daripada bahasa Indonesia karena struktur kalimatnya lebih rumit. Apalagi, bahasa Jerman tidak hanya diserap secara kognitif, tetapi diserap untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Maka kepada para peserta kursus, selain mengikuti kursus, disarankan masih melakukan kegiatan lain guna menambah pengetahuan.
Oleh karena itu, Goethe-Institut Jakarta juga menyediakan ruang Mediothek atau ruang audio-video. Di ruang itu, peserta kursus bisa mengambil program-program yang diperlukan, baik dalam bentuk CD-Rom, pita audio, maupun video. Waktu penggunaan ruang itu disesuaikan kebutuhan masing-masing peserta.
Bahasa Jerman sebenarnya masih serumpun dengan bahasa Belanda dan Inggris (Germanische sprachen). Ia amat berbeda dengan bahasa Perancis yang serumpun dengan bahasa Italia, Portugis, atau Spanyol yang menginduk ke bahasa Latin.
"Dalam pelaksanaannya, kursus bahasa Jerman di sini mengutamakan practical skill atau skill oriented. Maka, pada ujian terakhir bidang ’mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara’ mendapat bobot lebih besar. Sedangkan gramatika tidak dilatih tersendiri, tetapi dipandang sebagai penunjang dan diajarkan bersamaan dengan ketiga komponen itu. Mendengarkan dan membaca boleh disebut pasif skill, sedangkan menulis dan berbicara adalah aktif skill," kata Frau Fischer menambahkan.
MENYADARI mempelajari bahasa sama dengan memahami budaya, maka Goethe-Institut yang berpusat di Muenchen dan membawahi 128 cabang di seluruh dunia membagi kegiatannya dalam tiga bagian, yaitu bahasa, budaya, dan informasi.
Bagi peserta kursus bahasa, Goethe-Institut Jakarta memungut biaya per semester, besarnya bervariasi bergantung dari jenis kursus yang diambil. Untuk kursus ekstensif biayanya sebesar Rp 1.500.000; semi-intensif sebesar Rp 2.800.000; dan intensif sebesar Rp 5.100.000.
"Jumlah biaya itu sebenarnya baru menutup dari 50 hingga 60 persen biaya kursus. Kekurangannya masih disubsidi Goethe-Institut pusat. Tetapi, jumlah subsidi makin lama makin berkurang dengan harapan suatu saat bisa mandiri," jelas Frau Fishcer.
Melihat besarnya biaya kursus, Goethe-Institut Jakarta memang tidak bisa memberikan beasiswa atau bantuan perseorangan. Beasiswa yang bisa dilakukan adalah yang bersifat multiplikator. Misalnya, tiap semester ada lima mahasiswa UNJ yang akan menjadi guru bahasa Jerman diperbolehkan ikut kursus secara gratis. Dengan demikian, tiap tahun ada paling tidak 10 mahasiswa UNJ bisa ikut kursus gratis.
Tidak hanya itu, Goethe-Institut Jakarta juga membebaskan biaya kursus bagi para guru Jerman. Para guru ini diharuskan melengkapi persyaratan dengan surat dari pihak sekolah. Goethe-Institut juga melakukan kerja sama dengan Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Depdiknas. Selain itu Goethe-Institut juga bekerja sama dengan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam mengembangkan buku pelajaran bahasa Jerman untuk pariwisata.
"Kami sebenarnya ingin membuka kursus bahasa Jerman untuk anak-anak. Tetapi, gurunya belum ada. Mudah-mudahan tahun 2005 bisa diwujudkan," jelas Frau Fischer.(tonny d widiastono)
No comments:
Post a Comment