Konon, Yayasan Peduli Pendidikan anak Indonesia yang sebelumnya bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia telah berhasil mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah perbatasan dengan Negara bagian sabah, Malaysia (Kompas, 22 nopember 2008). Dikatakan pula oleh Kompas bahwa ke dua PKBM itu dalam operasionalnya belum pernah mendapatkan bantuan dana maupun sarana prasarana dari pemerintah (Depdiknas), dalam menjalankan operasionalisasi PKBM hanya mengandalkan iuran dari para peserta didik serta donatur yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat marginal yang belum tersentuh pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga maupun adanya kendala geografis.
Kondisi semacam ini hendaknya bisa ditangkap oleh para pekerja pendidikan nonformal yang kantornya berdekatan dengan daerah perbatasan dibawah koordinasi subdin pendidikan nonformal propinsi ataupun BPPNFI. Hal ini tentunya dengan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk block grand, program pendidikan keterampilan hidup (life skill), Kursus kewirausahaan Desa (KWD) serta dana Kelompok Belajar Usaha (KBU). Program-program diatas menurut penulis sangatlah cocok diberikan pada masyarakat perbatasan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-harinya. Seperti diketahui bahwa program kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Dalam implementasinya, program life skills berprinsip pada empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan Unesco (Ditjen Diklusepa, 2003), yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadikan dirinya sebagai orang berguna), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Begitu juga dengan program KWD maupun KBU yang prinsipnya sama,
Disinilah peran dari para pekerja pendidikan nonformal di lingkungan Ditjen PNF untuk membelajarkan masyarakat daerah perbatasan agar kualitas hidupnya meningkat sejajar dengan warga negara lain yang sama2 hidup di perbatasan. Artinya program2 PNF yang dikembangkan di daerah perbatasan haruslah dikelola, dikerjakan dan dilaksanakan dan diprogramkan dengan serius dan sungguh2, bukan sekedar berjalan untuk “menggugurkan” kewajiban.
Berdasarkan catatan yang ada, beberapa sanggar kegiatan belajar yang berada atau dekat dengan wilayah perbatasan adalah sanggar kegiatan belajar yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Timur dan sanggar kegiatan belajar di Kalimantan yang berdekatan dengan wilayah Negara Malaysia, juga Sulawesi Utara dan Papua. Sayangnya keberadan “Dinas Pendidikan” yang berada dekat perbatasan dengan Negara lain itu tupoksinya kurang dapat dimainkan secara optimal, padahal disana sangat rawan dengan persengketaan wilayah perbatasan yang bisa mengarah pada sengketa politik maupun bentrok bersenjata. Seandainya program-program pendidikan nonformal yang diarahkan ke daerah perbatasan, dikelola dengan sungguh-sungguh, pastilah taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan akan meningkat dan tidak mudah tergoda untuk pindah kewarganegaraan atau lari menyeberang ke Negara tetangga. Program ini tentunya akan menarik jika bisa dikerjasamakan dengan Tentara yang bertugas diperbatasan untuk mewujudkan konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat yang sering didengungkan dalam acara seremonial. Paling tidak konsep OBAMA (Operasi Bhakti Abri Manunggal Aksara) bisa di tata ulang kembali disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Mudah-mudahan wacana sederhana yang digulirkan penulis bisa menjadi inspirasi positif dalam arti bisa turut mewarnai kebijakan yang akan (dan mungkin) sedang disusun untuk tahun anggaran 2009. yakinlah bahwa bersama kita bisa berbuat untuk kemaslahatan umat. Wassalam.
*penulis adalah pamong belajar bppnfi reg-4 surabaya
(admin)
Sumber: edi Basuki
Kondisi semacam ini hendaknya bisa ditangkap oleh para pekerja pendidikan nonformal yang kantornya berdekatan dengan daerah perbatasan dibawah koordinasi subdin pendidikan nonformal propinsi ataupun BPPNFI. Hal ini tentunya dengan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk block grand, program pendidikan keterampilan hidup (life skill), Kursus kewirausahaan Desa (KWD) serta dana Kelompok Belajar Usaha (KBU). Program-program diatas menurut penulis sangatlah cocok diberikan pada masyarakat perbatasan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-harinya. Seperti diketahui bahwa program kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Dalam implementasinya, program life skills berprinsip pada empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan Unesco (Ditjen Diklusepa, 2003), yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadikan dirinya sebagai orang berguna), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Begitu juga dengan program KWD maupun KBU yang prinsipnya sama,
Disinilah peran dari para pekerja pendidikan nonformal di lingkungan Ditjen PNF untuk membelajarkan masyarakat daerah perbatasan agar kualitas hidupnya meningkat sejajar dengan warga negara lain yang sama2 hidup di perbatasan. Artinya program2 PNF yang dikembangkan di daerah perbatasan haruslah dikelola, dikerjakan dan dilaksanakan dan diprogramkan dengan serius dan sungguh2, bukan sekedar berjalan untuk “menggugurkan” kewajiban.
Berdasarkan catatan yang ada, beberapa sanggar kegiatan belajar yang berada atau dekat dengan wilayah perbatasan adalah sanggar kegiatan belajar yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Timur dan sanggar kegiatan belajar di Kalimantan yang berdekatan dengan wilayah Negara Malaysia, juga Sulawesi Utara dan Papua. Sayangnya keberadan “Dinas Pendidikan” yang berada dekat perbatasan dengan Negara lain itu tupoksinya kurang dapat dimainkan secara optimal, padahal disana sangat rawan dengan persengketaan wilayah perbatasan yang bisa mengarah pada sengketa politik maupun bentrok bersenjata. Seandainya program-program pendidikan nonformal yang diarahkan ke daerah perbatasan, dikelola dengan sungguh-sungguh, pastilah taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan akan meningkat dan tidak mudah tergoda untuk pindah kewarganegaraan atau lari menyeberang ke Negara tetangga. Program ini tentunya akan menarik jika bisa dikerjasamakan dengan Tentara yang bertugas diperbatasan untuk mewujudkan konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat yang sering didengungkan dalam acara seremonial. Paling tidak konsep OBAMA (Operasi Bhakti Abri Manunggal Aksara) bisa di tata ulang kembali disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Mudah-mudahan wacana sederhana yang digulirkan penulis bisa menjadi inspirasi positif dalam arti bisa turut mewarnai kebijakan yang akan (dan mungkin) sedang disusun untuk tahun anggaran 2009. yakinlah bahwa bersama kita bisa berbuat untuk kemaslahatan umat. Wassalam.
*penulis adalah pamong belajar bppnfi reg-4 surabaya
(admin)
Sumber: edi Basuki
No comments:
Post a Comment