Anita Lie
PENGUASAAN bahasa asing, terutama bahasa asing yang sedang dominan dalam pergaulan internasional, merupakan salah satu akses untuk meraih keberhasilan dalam berbagai bidang. Peta dominasi bahasa asing selalu berubah, baik di tingkat dunia maupun di suatu negara, seiring dengan perubahan sosial dan politik.
PADA abad pertengahan, bahasa Latin memegang peran penting. Ketika abad pertengahan berganti dengan abad Renaissance dan pencerahan, bahasa Perancis menggeser posisi bahasa Latin. Selanjutnya, revolusi industri dan persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Australia yang makin menguat telah mengukuhkan dominasi bahasa Inggris pada abad ke-20. Apakah dominasi bahasa Inggris akan langgeng di abad ke-21 ini ataukah akan diganti bahasa lain (China, misalnya), amat bergantung pada perkembangan ekonomi, sosial, dan politik selanjutnya.
Dalam konteks itu, pengajaran bahasa asing di Indonesia juga mengalami berbagai perubahan. Dalam pengajaran bahasa, biasanya ada empat bidang keterampilan yang dijadikan acuan kurikulum: mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Sementara itu, tata bahasa merupakan keterampilan yang diajarkan guna meningkatkan penguasaan dalam empat bidang itu. Ironisnya, penekanan yang berlebihan pada tata bahasa ditengarai justru menghambat keterampilan berkomunikasi. Perbedaan penekanan kurikulum bahasa asing di sekolah dan kursus menarik untuk dicermati.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda makin menurun seiring dengan penerimaan bahasa nasional republik yang baru. Meski bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan lingua franca, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing makin mapan dengan keputusan pemerintah memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dan dukungan lembaga-lembaga asing seperti The Ford Foundation, RELO (Regional English Language Office) dan The British Council, serta kebijakan di sektor pendidikan formal, bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di sekolah.
Bahasa asing di sekolah formal
Belajar bahasa Inggris di sekolah dasar (SD) dan menengah (SMP/SMA/SMK) memenuhi dua tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris masih digunakan sebagai faktor penentu guna mendapatkan pekerjaan dan imbalan menarik. Banyak iklan lowongan mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu syarat utama. Meski anak sudah belajar bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya kompetensi dalam bahasa ini di kalangan lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah.
Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan bahasa Inggris, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo, 2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral (1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984), dan kebermaknaan (1994). Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 saat pengajaran bahasa asing bergeser dari behaviorism menuju konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial, dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan, bukan pada struktur bahasa. Mengacu paradigma baru ini, Kurikulum 1984 dan 1994 bercita-cita membangun kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara aktif.
Akan tetapi, cita-cita dalam Kurikulum 1984 dan 1994 sama sekali tidak mendarat dan terlaksana. Buku paket masih berorientasi pada struktur bahasa (Purwo, 1990). Selain itu, sebagian besar guru bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Bagaimana mereka para siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris jika sehari-hari siswa tidak pernah mendengarkan guru bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan benar dan lancar? Tidak heran mereka menjadi gagap saat mendengarkan rekaman berbahasa Inggris dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), apalagi jika diucapkan oleh penutur asli. Kesulitan dalam ujian listening bahasa Inggris bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis (misalnya, tape recorder yang tidak berfungsi optimal), tetapi juga mismatch (ketidakterkaitan) antara apa yang diajarkan dan apa yang diujikan.
Respons lembaga informal
Bahasa Inggris tidak pernah digunakan secara luas sebagai lingua franca bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, terus terjadi peningkatan kebutuhan dan jumlah pemakai bahasa Inggris-mulai dari tingkat paling minim hingga tingkat kemampuan mendekati penutur asli-terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Terinspirasi oleh selebriti idola mereka yang populer lewat stasiun-stasiun televisi ala MTV yang lebih suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas di luar negeri, para kawula muda suka menampilkan diri dalam lingkungan kerja maupun pergaulan sosial dengan berbicara, setidaknya penggalan frase, berbahasa asing untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan mereka.
Merespons kekurangan dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah dan kebutuhan di masyarakat, kursus bahasa asing berkembang amat marak mulai dari kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, CCCL, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de facto masih berkutat pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan berbahasa, kursus-kursus justru menekankan keterampilan berbicara. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan program "lancar berbicara dalam tiga bulan" untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat keterampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli.
Biasanya program oleh penutur asli ditawarkan dengan harga lebih mahal dibandingkan yang diajar guru lokal meski belum tentu guru penutur asli lebih kompeten. Mentalitas pascakolonialisme justru dilakukan orang-orang lokal yang lebih menghargai instruktur penutur asli berbahasa Inggris yang tidak berpengalaman- bahkan kadang tidak terdidik di bidangnya-dibandingkan instruktur lokal yang lancar berbahasa Inggris, berpengalaman, dan terdidik di bidangnya.
Ketepatan dan kelancaran
Proses pembelajaran bahasa asing mencakup hal yang seharusnya saling menunjang, yakni ketepatan dan kelancaran (accuracy dan fluency). Pengajaran di sekolah formal ditengarai terlalu menekankan ketepatan. Meski label kurikulum bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, kenyataannya siswa di kelas tetap saja menghafalkan daftar panjang kata kerja beraturan dan tidak beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Seorang siswa sekolah menengah dengan polos bertanya kepada gurunya, "Sudah enam tahun kami belajar bahasa Inggris. Kapan kami bisa berbicara dan menggunakan bahasa Inggris?" Penekanan berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya menghambat kelancaran berkomunikasi, tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi belajar.
Sebaliknya, di jalur informal, kelancaran berkomunikasi dijadikan fokus. Secara ekstrem, kursus yang menjanjikan "lancar berbicara dalam tiga bulan" akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur bahasa, pelafalan, dan kosakata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan bahasa asing. Memang tidak mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar berbahasa asing dalam waktu singkat. Yang harus disadari, jika ketepatan berbahasa ditinggalkan demi kelancaran, dampak yang bisa muncul di kemudian hari adalah gejala fosilisasi atau kelancaran berbahasa dengan kesalahan-kesalahan yang sudah membatu dan sulit diperbaiki.
Mengingat keberagaman populasi siswa di Indonesia dan variasi kebutuhan masyarakat, para pendidik dan pembuat kebijakan perlu menelaah ulang tujuan, desain, dan implementasi kurikulum bahasa asing. Secara realistis, tidak semua anak Indonesia mempunyai kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Dalam konteks seperti ini, alokasi pengajaran bahasa Inggris selama enam tahun kali (sedikitnya) dua jam seminggu bisa menjadi mubazir.
Seandainya bahasa Inggris tetap diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah dengan alasan pemerataan akses, setiap daerah seyogianya mempunyai kebebasan untuk menentukan tujuan dan desain kurikulum bahasa asing sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat. Di beberapa daerah kemampuan baca lebih dipentingkan. Sementara di daerah lain (misalnya daerah pemasok tenaga kerja Indonesia ke luar negeri), mungkin siswa perlu mengembangkan kompetensi berkomunikasi lisan dalam bahasa asing (bisa Inggris, Arab, atau China) meski seyogianya daerah ini juga punya strategi jangka panjang dan tidak terus terjebak sebagai pemasok TKI bergaji minimal.
Dalam konteks keberagaman dan variasi kebutuhan ini, amat sulit bagi sekolah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswanya. Keberadaan kursus-kursus bahasa asing akan tetap dibutuhkan di masa datang. Bahkan, sekolah dan lembaga informal bisa saling mengisi kekosongan masing-masing dalam pengajaran bahasa asing.
Anita Lie Sekjen Dewan Pendidikan Jatim; Associate Director ASIA TEFL (Teachers of English as a Foreign Language)
PADA abad pertengahan, bahasa Latin memegang peran penting. Ketika abad pertengahan berganti dengan abad Renaissance dan pencerahan, bahasa Perancis menggeser posisi bahasa Latin. Selanjutnya, revolusi industri dan persekutuan Amerika Serikat-Inggris-Australia yang makin menguat telah mengukuhkan dominasi bahasa Inggris pada abad ke-20. Apakah dominasi bahasa Inggris akan langgeng di abad ke-21 ini ataukah akan diganti bahasa lain (China, misalnya), amat bergantung pada perkembangan ekonomi, sosial, dan politik selanjutnya.
Dalam konteks itu, pengajaran bahasa asing di Indonesia juga mengalami berbagai perubahan. Dalam pengajaran bahasa, biasanya ada empat bidang keterampilan yang dijadikan acuan kurikulum: mendengarkan, membaca, berbicara, dan menulis. Sementara itu, tata bahasa merupakan keterampilan yang diajarkan guna meningkatkan penguasaan dalam empat bidang itu. Ironisnya, penekanan yang berlebihan pada tata bahasa ditengarai justru menghambat keterampilan berkomunikasi. Perbedaan penekanan kurikulum bahasa asing di sekolah dan kursus menarik untuk dicermati.
Di Indonesia, sejak kemerdekaan, penggunaan bahasa Belanda makin menurun seiring dengan penerimaan bahasa nasional republik yang baru. Meski bahasa Indonesia berhasil mengukuhkan posisinya sebagai bahasa nasional dan lingua franca, penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa asing makin mapan dengan keputusan pemerintah memilih bahasa Inggris sebagai bahasa asing pertama dan dukungan lembaga-lembaga asing seperti The Ford Foundation, RELO (Regional English Language Office) dan The British Council, serta kebijakan di sektor pendidikan formal, bahasa Inggris diajarkan secara resmi sebagai bahasa asing di sekolah.
Bahasa asing di sekolah formal
Belajar bahasa Inggris di sekolah dasar (SD) dan menengah (SMP/SMA/SMK) memenuhi dua tujuan. Pertama, siswa perlu menyiapkan diri agar bisa membaca buku teks dalam bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Kedua, kemampuan berbahasa Inggris masih digunakan sebagai faktor penentu guna mendapatkan pekerjaan dan imbalan menarik. Banyak iklan lowongan mencantumkan kemampuan berbahasa Inggris sebagai salah satu syarat utama. Meski anak sudah belajar bahasa Inggris selama bertahun-tahun di sekolah, umumnya kompetensi dalam bahasa ini di kalangan lulusan sekolah menengah secara umum masih tergolong sangat rendah.
Untuk menjawab kebutuhan terhadap penguasaan bahasa Inggris, kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan (Dardjowidjojo, 2000). Dimulai dengan pendekatan tata bahasa dan terjemahan (1945), oral (1968), audio-lingual (1975), komunikatif (1984), dan kebermaknaan (1994). Perubahan drastis dalam tahap perumusan kurikulum standar terjadi di tahun 1984 saat pengajaran bahasa asing bergeser dari behaviorism menuju konstruktivisme. Bahasa dipandang sebagai suatu fenomena sosial, dan pengajaran bahasa seharusnya lebih menekankan pada penggunaan, bukan pada struktur bahasa. Mengacu paradigma baru ini, Kurikulum 1984 dan 1994 bercita-cita membangun kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Inggris secara aktif.
Akan tetapi, cita-cita dalam Kurikulum 1984 dan 1994 sama sekali tidak mendarat dan terlaksana. Buku paket masih berorientasi pada struktur bahasa (Purwo, 1990). Selain itu, sebagian besar guru bahasa Inggris di Indonesia belum kompeten dan lancar berbahasa Inggris. Bagaimana mereka para siswa bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris jika sehari-hari siswa tidak pernah mendengarkan guru bercakap-cakap dalam bahasa Inggris dengan benar dan lancar? Tidak heran mereka menjadi gagap saat mendengarkan rekaman berbahasa Inggris dalam Ujian Akhir Nasional (UAN), apalagi jika diucapkan oleh penutur asli. Kesulitan dalam ujian listening bahasa Inggris bukan hanya disebabkan oleh alasan teknis (misalnya, tape recorder yang tidak berfungsi optimal), tetapi juga mismatch (ketidakterkaitan) antara apa yang diajarkan dan apa yang diujikan.
Respons lembaga informal
Bahasa Inggris tidak pernah digunakan secara luas sebagai lingua franca bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Namun, terus terjadi peningkatan kebutuhan dan jumlah pemakai bahasa Inggris-mulai dari tingkat paling minim hingga tingkat kemampuan mendekati penutur asli-terutama di kalangan anak muda kelas menengah perkotaan. Terinspirasi oleh selebriti idola mereka yang populer lewat stasiun-stasiun televisi ala MTV yang lebih suka merekrut pembawa acara dari kalangan lulusan universitas di luar negeri, para kawula muda suka menampilkan diri dalam lingkungan kerja maupun pergaulan sosial dengan berbicara, setidaknya penggalan frase, berbahasa asing untuk menonjolkan gaya hidup perkotaan mereka.
Merespons kekurangan dalam pembelajaran bahasa asing di sekolah dan kebutuhan di masyarakat, kursus bahasa asing berkembang amat marak mulai dari kursus yang dikelola perwakilan resmi negara asing seperti The British Council, Goethe Institut, CCCL, Netherlands Education Centre (NEC), sampai kursus privat milik perseorangan. Sementara sekolah-sekolah secara de facto masih berkutat pada pengajaran tata bahasa dan hafalan aturan berbahasa, kursus-kursus justru menekankan keterampilan berbicara. Beberapa kursus tidak segan-segan mempromosikan program "lancar berbicara dalam tiga bulan" untuk menarik konsumen. Bahkan untuk mempercepat keterampilan berbicara, beberapa kursus menyediakan guru penutur asli.
Biasanya program oleh penutur asli ditawarkan dengan harga lebih mahal dibandingkan yang diajar guru lokal meski belum tentu guru penutur asli lebih kompeten. Mentalitas pascakolonialisme justru dilakukan orang-orang lokal yang lebih menghargai instruktur penutur asli berbahasa Inggris yang tidak berpengalaman- bahkan kadang tidak terdidik di bidangnya-dibandingkan instruktur lokal yang lancar berbahasa Inggris, berpengalaman, dan terdidik di bidangnya.
Ketepatan dan kelancaran
Proses pembelajaran bahasa asing mencakup hal yang seharusnya saling menunjang, yakni ketepatan dan kelancaran (accuracy dan fluency). Pengajaran di sekolah formal ditengarai terlalu menekankan ketepatan. Meski label kurikulum bahasa Inggris telah berganti beberapa kali, kenyataannya siswa di kelas tetap saja menghafalkan daftar panjang kata kerja beraturan dan tidak beraturan tanpa konteks dan rumusan sekian banyak tenses. Seorang siswa sekolah menengah dengan polos bertanya kepada gurunya, "Sudah enam tahun kami belajar bahasa Inggris. Kapan kami bisa berbicara dan menggunakan bahasa Inggris?" Penekanan berlebihan pada ketepatan berbahasa ternyata bukan hanya menghambat kelancaran berkomunikasi, tetapi juga mematikan rasa senang dan motivasi belajar.
Sebaliknya, di jalur informal, kelancaran berkomunikasi dijadikan fokus. Secara ekstrem, kursus yang menjanjikan "lancar berbicara dalam tiga bulan" akan mengabaikan ketepatan aturan berbahasa (struktur bahasa, pelafalan, dan kosakata). Berbeda dengan kegiatan pembelajaran di sekolah formal, aktivitas belajar bahasa asing di kursus dibuat menarik dan menyenangkan. Ada banyak permainan dan kesempatan untuk menggunakan bahasa asing. Memang tidak mustahil mengajar seseorang untuk bisa lancar berbahasa asing dalam waktu singkat. Yang harus disadari, jika ketepatan berbahasa ditinggalkan demi kelancaran, dampak yang bisa muncul di kemudian hari adalah gejala fosilisasi atau kelancaran berbahasa dengan kesalahan-kesalahan yang sudah membatu dan sulit diperbaiki.
Mengingat keberagaman populasi siswa di Indonesia dan variasi kebutuhan masyarakat, para pendidik dan pembuat kebijakan perlu menelaah ulang tujuan, desain, dan implementasi kurikulum bahasa asing. Secara realistis, tidak semua anak Indonesia mempunyai kesempatan dan kebutuhan untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Dalam konteks seperti ini, alokasi pengajaran bahasa Inggris selama enam tahun kali (sedikitnya) dua jam seminggu bisa menjadi mubazir.
Seandainya bahasa Inggris tetap diajarkan sebagai bahasa asing di sekolah dengan alasan pemerataan akses, setiap daerah seyogianya mempunyai kebebasan untuk menentukan tujuan dan desain kurikulum bahasa asing sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat. Di beberapa daerah kemampuan baca lebih dipentingkan. Sementara di daerah lain (misalnya daerah pemasok tenaga kerja Indonesia ke luar negeri), mungkin siswa perlu mengembangkan kompetensi berkomunikasi lisan dalam bahasa asing (bisa Inggris, Arab, atau China) meski seyogianya daerah ini juga punya strategi jangka panjang dan tidak terus terjebak sebagai pemasok TKI bergaji minimal.
Dalam konteks keberagaman dan variasi kebutuhan ini, amat sulit bagi sekolah untuk memenuhi kebutuhan setiap siswanya. Keberadaan kursus-kursus bahasa asing akan tetap dibutuhkan di masa datang. Bahkan, sekolah dan lembaga informal bisa saling mengisi kekosongan masing-masing dalam pengajaran bahasa asing.
Anita Lie Sekjen Dewan Pendidikan Jatim; Associate Director ASIA TEFL (Teachers of English as a Foreign Language)
No comments:
Post a Comment