Lebih lanjut mantan Menteri Agama pada masa Gus Dur ini berujar, di Indonesia ini ada sekian ribu madzhab tahfidzul Qur’an. Tapi sampai pada hari ini, hanya terbatas pada tahfidz. Tidak ada dari sekian ribu itu yang mengembangkan keilmuannya lebih lanjut, menjadi tafhimul Qur’an. Saya melihat contohnya di Sudan, di sana sudah ada Jami’ah al-Qur’anul Karim. Itu yang S3-nya Jami’ah al-Qur’anul Karim ini, asbabun nuzul itu sudah dihafal di luar kepala. Mengapa di Indonesia tidak bisa? Saya sudah berbicara dengan kyai-kyai tahfidzul Qur’an, kenapa tidak melakukan asosiasi? Yang salah satunya nanti diangkat menjadi pesantren tahfidzul Qur’an lanjutan. Sehingga mempelajari ulumul Qur’an tidak terbatas pada tartil dan tahfidz, sampai pada ilmu-ilmu Qur’an semisal asbabun nuzul dan juga yang lain. Sehingga Indonesia memilki ahli-ahli al-Qur’an yang bagus. Sambungnya.
Misalnya di UIN Malang sudah melahirkan seorang ahli fisika yang juga hafal al-Qur’an. Suruh meneruskan saja itu, studi al-Qur’annya dalam bidang fisika. Ini yang namanya Islamisasi keilmuan. Sehingga kita nanti memiliki seorang ahli al-Qur’an yang paham fisika di dalam al-Qur’an. Tapi kita miskin dalam hal gagasan-gagasan semacam ini. Hampir 800 ayat al-Qur’an yang mengandung masalah sains, tapi sampai hari ini di Indonesia itu belum ada satu pun tafsir tentang sains.
Dulu pada masa Presiden Habibie, kami pernah mengusulkan untuk membentuk satu tafsir tematik al-Qur’an ini. Tafsir mengenai politik, tafsir mengenai ekonomi, juga tafsir sains. Sayang di Indonesia ini kalau sudah ganti menteri maka ganti kebijakan. Gagasnya.
Oleh karena itu, mengapa visi keilmuan kita tidak pernah menjadi guru di dunia, karena memang keilmuan kita banyak yang nanggung. Demikian juga dengan referensi bahan bacaan dan fasilitas kita itu terbatas sekali jenisnya maupun jumlahnya. Tafsir yang disediakan di pesantren itu paling banyak hanya tafsir Jalalain. Untung kalau ada misalnya tafsir ibn Qatsir atau tafsir Ibn Qayim. Tafsir yang lain yang termasuk kuning, itu hampir-hampir tidak terbaca.
Beliau lalu bercerita, dulu waktu nyantri di pondok Tebuireng Jombang, al-Kutubus sittah itu dibaca. Dan ijazah tanpa kertas, ijazah safahiyah dari kyai yang mengajarkan pada santri yang mengaji itu. Masalah sanad minal muallif itu jelas. Riwayat guru mengajar murid sampai pada muallif itu ada. Dan sekarang kyai yang baca ini tidak ada.
Memang pesantren sekarang ini berkembang. Jumlahnya tambah dan gedungnya bagus-bagus, tapi dari segi kualitas ini mengalami semacam penurunan. Saya masih mengaji pada Mbah Idris (Tebuireng), sekali dalam seminggu, selama tiga jam dan itu mengaji tiga tafsir sekaligus. Tafsir ibn Qayim, tafsir Baidhawi, dan Tafsir Ibnu Katsir. Sembilan santrinya disuruh membaca sendiri sampai selesai. Tapi kadang, baru setengah jam saja, beliau sudah memberi komentar panjang lebar.
Di pesantren kita itu, kebanyakan tidak seimbang antara pengajian fiqh dan ushul fiqhnya. Fiqihnya sudah fathul wahab, ushulnya baru waraqat. Ini tidak pas. Sehingga pemahaman fiqh hanya sebagai produk tidak sebagai proses. Dari sini dapat dilihat bahwa memang pembacaan pada kitab memang kurang. Kitab bagus semisal karya Said Ramadhan al-Buthi, Dhawahibul Maslahat fi Syar’i Islamiyah, kitab semacam ini sama sekali tidak terbaca. Padahal kalau kita buka apa yang ditulis Said Ramadhan, Ibrahim Sulaiman, ini salafi semua. Mengutip dan menguraikan pendapat-pendapat ulama dahulu.
Mantan Direktur Pascasarjana UIN Malang ini kemudian mengusulkan bahwa pengayaan keilmuan di pesantren kalau kita mau mengembangkan pesantren adalah hal yang wajib, kalau kita mau memperluas cakrawala keilmuan betul-betul dapat diwujudkan. Dan saya mengusulkan bantuan pada pesantren itu bukan dalam bentuk bangunan atau komputer, tapi buatlah perpustakaan yang dapat diakses para santri. Bukan hanya diakses oleh kyai. Sebab kalau perpustakaan itu ada di rumah kyai, maka santri tidak berani masuk. Jadi kiainya yang semakin pintar, sedangkan santrinya tidak. Karena memang kebanyakan perpustakaan di pesantren itu ada di rumah kyai. Padahal ini merupakan satu bagian bentuk penambah dan pembuka cakrawala wawasan santri. Apakah itu perpustakaan dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk digital.
Lebih lanjut beliau berujar, untuk betul-betul memahami agama tidak hanya melalui pembelajaran ilmu agama, tetapi juga harus ada sisi lain yang dilakukan, pengalaman beragama. Pendidikan agama yang kita kembangkan sekarang ini hanyalah pembelajaran ilmu agama. Tapi bukan pengembangan pengalaman agama. Menurut saya, amal-amal yang menjadi bagian-bagian pengalaman keagamaan menentukan sekali kualitas pesantren kita. Banyak sekali misalnya, orang-orang yang pandai sekali berdalil, namun, sekedar dalil untuk mendalili orang lain, dia tidak pernah melakukan apa yang diperintahkannya pada orang lain.
Oleh karena itu, saya menganjurkan agar gus-gus dari pesantren itu meningkatkan kemampuan mereka dengan menimba ilmu sebanyak mungkin. Dan dari pembicaran kami, Pak Menteri kemarin menjanjikan akan ada 10 tempat yang akan disediakan bagi para gus-gus dari pesantren untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Dan tentunya ini memakai seleksi. Saya usulkan minimal S2, kalau bisa S3. Apa kepentingannya? Pertama, agar supaya memperluas wawasan keilmuan Islam saat ini. Kedua, agar memiliki kredibilitas di kalangan pesantren. Dan ketiga, agar memiliki perbandingan antara pesantren di Indonesia dan di luar. Ini beberapa hal yang ingin kita sampaikan, agar dunia pesantren kita memiliki citra kegemilangannya. Ujarnya. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=126