Thursday, March 19, 2009

Pendidikan Dasar

1
Pemanfaatan Program Siaran Radio untuk Kepentingan Pendidikan dan Pelatihan Guru Sekolah Dasar (SD)
11/09/2008
Oleh: Sudirman Siahaan
Kegiatan awal yang menjadi cikal-bakal berdirinya Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom)-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah pengembangan dan pemanfaatan program siaran radio untuk pendidikan dan pelatihan guru-guru Sekolah Dasar (SD). Program ini lebih dikenal dengan nama Diklat SRP. Sebelum Pustekkom lahir, Deputi Bidang Media Pendidikan pada Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yusufhadi Miarso, memimpin satu tim atau satuan tugas yang diberi tugas khusus untuk mengelola pengembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi bagi kepentingan pendidikan dan kebudayaan. Tim atau Satgas yang dipimpin oleh Deputi Bidang Media Pendidikan-Balitbang Depdikbud bernama Satgas Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Satgas TKPK) beranggotakan di antaranya: Drs. Paul Soerono dan Drs. Sinwari Natakusumah. Jumlah keanggotaan Satgas ini terus meningkat sampai dengan akhirnya berdirilah suatu lembaga yang secara khusus menangani pengembangan dan pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kepentingan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Lembaga inilah yang selanjutnya bernama Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom). Karena kekhususannya, maka Pustekkom pada awalnya berada langsung di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping menyosialisasikan peranan dan pentingnya teknologi komunikasi untuk pembangunan pendidikan dan kebudayaan ke berbagai perguruan tinggi dan instansi kependidikan lainnya, tim atau satgas TKPK mendatangkan tenaga ahli untuk (1) melakukan kegiatan penelitian (pre-investment study) dan (2) memberikan pelatihan (in-country training) terutama di bidang pengembangan dan produksi program siaran radio untuk pendidikan sekolah dan luar sekolah. Beberapa tenaga Indonesia juga dikirimkan ke luar negeri untuk mengikuti pelatihan dan seminar. Yang menjadi dasar pemanfaatan Siaran Radio untuk pendidikan adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh LHS Emerson melalui bantuan dana UNESCO pada tahun 1968. Salah satu hasil dari penelitian LHS Emerson tentang ”Education in Indonesia: Diagnosis of the Present Situation with Identification of Priorities Development” adalah mengenai prioritas untuk pemanfaatan teknologi komunikasi, khususnya radio dan televisi, untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. Hasil penelitian LHS Emerson ini diperkuat lagi oleh serangkaian pengkajian terhadap kemungkinan pemanfaatan teknologi komunikasi untuk kepentingan pembangunan pendidikan. Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian dan kajian tersebut di atas, maka pada tahun 1976, dimulailah perintisan penyelenggaraan siaran radio untuk penataran guru-guru SD di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kedua daerah ini disebut juga sebagai daerah persemaian penyelenggaraan siaran radio untuk penataran guru-guru SD. Naskah program siaran dipersiapkan oleh suatu tim yang di dalamnya terdiri atas guru (yang telah dilatih di bidang penulisan naskah siaran radio), tenaga edukatif perguruan tinggi yang latar belakangnya sesuai dengan materi disipilin ilmu yang akan dikembangkan, dan tenaga ahli yang berasal dari RRI dan non-RRI. Setahun kemudian, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Syarif Thayeb, meresmikan penataran guru-guru SD melalui Siaran Radio Pendidikan (SRP) untuk 11 propinsi. Kegiatan penataran guru-guru SD ini lebih dikenal dengan Diklat SRP Guru SD. Dikemukakan bahwa tujuan dari penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah menunjang pelaksanaan pembangunan pendidikan, khususnya peningkatan mutu pendidikan dasar dengan mengintegrasikan penerapan media dan teknologi komunikasi secara terencana dan terarah sebagai suatu sub sistem dalam pendidikan dasar. Pada awal peresmiannya, sasaran program Diklat SRP Guru SD adalah para guru dan calon guru SD yang berada di daerah-daerah yang terpencil dan sulit, khususnya Irian Jaya (sekarang Papua), Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat. Derah persemaian D. I. Yogyakarta dan Jawa Tengah terus dijadikan sebagai lokasi penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD. Dari dokumen yang ada dikemukakan bahwa penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah untuk menunjang kegiatan penataran guru-guru SD yang dilaksanakan secara tatap muka dan berjenjang. Penataran secara tatap muka dan berjenjang ini tidak dapat menjangkau para guru SD yang berada di daerah yang terpencil dan sulit. Untuk mengikuti Diklat SRP Guru SD ini, para guru dianjurkan untuk membentuk kelompok-kelompok belajar. Masing-masing kelompok belajar memilih Ketua, Sekretaris dan anggotanya. Setiap kelompok belajar diwajibkan memberikan laporan pelaksanaan pemanfaatannya kepada Satuan Tugas Pelaksana Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Daerah (SPTD) dengan tembusan kepada Satuan Tugas Pelaksana Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan Nasional (SPTN). Perkembangan lebih lanjut adalah pelembagaan, baik terhadap SPTN yang dilembagakan menjadi Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Pustekkom) dan SPTD menjadi Sanggar. Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan (Sanggar Tekkom). Untuk membantu memudahkan para guru SD memanfaatkan program Diklat SRP Guru SD, maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan melalui Pustekkom membagikan pesawat radio yang dilengkapi dengan pemutar kaset audio kepada semua kelompok belajar Diklat SRP Guru SD yang tersebar di 11 propinsi. Program Diklat SRP Guru SD disiarkan oleh 23 stasiun Radio Republik Indonesia (RRI), 17 Radio Pemerintah Daerah (RPD), dan 4 stasiun radio swasta niaga. Penyiaran program Diklat SRP Guru SD didasarkan atas perjanjian kerjasama antara Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan Departemen Penerangan. Untuk membantu para guru memanfaatkan program Diklat SRP Guru SD, maka Pustekkom mengembangkan bahan penyerta tercetak dan didistribusikan ke semua Kelompok Belajar. Master program siaran dikembangkan oleh Pustekkom melalui Studio Audio Pendidikan yang ada di Jakarta, Balai Produksi Media Radio (BPMR) yang terdapat di Yogyakarta dan Semarang. Sedangkan penggandaannya diserahkan kepada PT Lokananta Solo (BUMN Departemen Penerangan). Program yangtelah digandakan didistribusikan Pustekkom ke semua stasiun radio yang berperanserta dalam menyiarkan program Diklat SRP Guru SD. Setiap tahunnya dikembangkan dan disiarkan sekitar 312 program. Sebagai ilustrasi, berdasarkan dokumen yang diterbitkan Pustekkom, bahwa pada tahun 1978 terdapat 70.000 orang guru yang bergabung di dalam Kelompok Belajar Diklat SRP Guru SD. Jumlah peserta Diklat SRP Guru SD berkembang menjadi 90.000 guru SD pada tahun 1981. Pada tahun anggaran 1984/1985, program Diklat SRP Guru SD diperluas ke 3 propinsi lainnya sehingga keseluruhan jumlah propinsi yang berperanserta dalam penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD adalah 14 propinsi. Dengan bertambahnya wilayah penyelenggaraan, maka jumlah guru SD yang berperanserta dalam Diklat SRP Guru SD juga meningkat yaitu menjadi 134.000 guru SD. Sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan, maka dilakukan berbagai penyesuaian sehingga dikembangkanlah sebuah program baru yaitu program Penyetaraan Diploma II Siaran Pendidikan (atau lebih dikenal dengan nama D-II SP). Program D-II SP ini diselenggarakan melalui kerjasama dengan Universitas Terbuka (UT). Namun bagi para guru SD yang di daerahnya masih terus menyiarkan program Diklat SRP Guru SD, maka keberhasilan mereka mengikuti program Diklat SRP Guru SD diakui angka kreditnya untuk mengikuti program penyetaraan Diploma-II UT. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, maka penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD sangat tergantung pada kebijakan masing-masing Dinas Pendidikan setempat. Sebagian besar propinsi yang semula berperanserta dalam penyelenggaraan Diklat SRP Guru SD telah mengambil keputusan untuk menghentikan kegiatan Diklat SRP Guru SD. Bagi propinsi yang mempunyai Unit Pelaksana Teknis Daerah Balai Tekkkom disarankan untuk mengkaji kembali kemungkinan pemanfaatan siaran radio untuk menunjang pembangunan pendidikan di wilayahnya.
2
Sekolah Dasar
Sekolah Dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah Dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun, mulai dari Kelas 1 sampai Kelas 6. Saat ini murid Kelas 6 diwajibkan mengikuti Ujian Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan Sekolah Dasar dapat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat).
Pelajar Sekolah Dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni Sekolah Dasar (atau sederajat) 6 tahun dan Sekolah Menengah Pertama (atau sederajat) 3 tahun.
Sekolah Dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Indonesia yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi tanggung jawab kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan. Secara struktural, Sekolah Dasar Negeri berada di bawah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan di kecamatan.

Budaya
Sekolah Dasar negeri di Indonesia umumnya menggunakan seragam putih merah untuk hari hari biasa, seragam coklat untuk pramuka/ hari tertentu, dan pada sekolah-sekolah tertentu menggunakan seragam putih-putih untuk upacara bendera
Upacara bendera dilaksanakan setiap hari Senin pagi sebelum dimulai pelajaran.
3

Menuju Masyarakat Edukatif
Monday, June 26, 2006
Oleh M. Badri
Aristoteles berpendapat bahwa pada waktu lahir jiwa manusia tidak memiliki apa-apa, sebuah meja lilin (tabula rasa) yang siap dilukis oleh pengalaman. Dari Aristoteles, John Locke (1632 – 1704), tokoh empirisme Inggris, meninjam konsep ini. Menurut kaum empiris, pada waktu lahir manusia tidak mempunyai “warna mental”. Warna ini didapat dari pengalaman. Pengalaman adalah satu-satunya jalan ke pemilikan pengetahuan (Rakhmat, 2004).Pengalaman sendiri dibentuk melalui pendidikan. Di sini penulis melihat bahwa pengalaman (baca: pendidikan) merupakan faktor penting yang mempengaruhi perilaku dan budaya masyarakat di masa depan. Proses pembentukan pendidikan harus melihat realitas yang ada di tengah masyarakat dengan mengedepankan aspek pendidikan agama, sains, dan sosial untuk menumbuhkan pemikiran kritis dan demokratis. Karena produk pendidikan untuk menghasilkan masyarakat edukatif (secara universal) harus memperhatikan keterampilan hidup (life skill) dan keterampilan sosial (social skill). Kedua hal ini merupakan satu kesatuan untuk menciptakan sebuah perubahan dalam konteks modernisasi berpikir masyarakat yang madani.Dalam sebuah Catatan Pinggir, Goenawan Mohamad pernah mengemukakan, pengetahuan lahir saat manusia tumbuh. Dunia modern bahkan bergerak dari proses pengetahuan itu: manusia tak lagi tersihir oleh dunia. Ia menangkap dunia itu, menafsirkannya dan mengubahnya. Hal ini berarti pendidikan merupakan “senjata nuklir” yang dapat mengubah dunia ––mungkin juga menghancurkannya. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Jepang secara tidak langsung memanfaatkan pendidikan untuk menguasai pemikiran masyarakat dunia melalui konsep ekonomi, ideologi, dan teknologi. Hal ini sangat berbahaya bagi negara-negara berkembang yang setakat ini dengan mudah dapat “tersihir” oleh konsep pemikiran yang dihasilkan negara-negara barat.Realitas Pendidikan IndonesiaHingga kini masalah pendidikan di Indonesia masih menjadi isu sentral yang selalu dibicarakan semua orang, baik yang bersentuhan langsung dengan urusan pendidikan maupun tidak. Karena ukuran kualitas dan kuantitas dunia pendidikan menjadi cermin kemajuan sebuah peradaban. Kita lihat misalnya negara-negara maju selalu menempatkan pendidikan sebagai prioritas nomor satu dalam pembangunan. Hal ini erat kaitannya dengan budaya riset untuk peningkatan kemajuan teknologi dalam menghadapi persaingan global. Lalu bagaimana dengan negara-negara berkembang? Khususnya Indonesia, hal ini sepertinya masih jauh panggang dari api.Padahal seperti dilihat pada gambaran Pembangunan Pendidikan yang tertuang dalam Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga dapat mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.Menghadapi tantangan ini diperlukan konsep pendidikan yang memihak masyarakat, bukan pendidikan berorientasi pada kapitalisme. Masih relatif rendahnya anggaran pendidikan yang berujung pada mahalnya biaya pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, menjadi pemicu utama lambannya peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia. Anggapan “orang miskin dilarang sekolah” begitu melekat di tengah masyarakat, karena rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah. Hal ini sangat kontradiktif dengan jargon pemerintah yang katanya, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.Melihat kondisi pendidikan Indonesia yang memprihatinkan tersebut, Guru Besar Universitas Waseda Jepang Profesor Toshiko Kinosita pernah mengemukakan pendapat bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Drs Nurkolis MM dalam artikel “Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang” di homepage Pendidikan Network).Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.Pendidikan Riau Masa DepanKalau dilihat secara umum pendidikan yang ada di Riau tidak jauh berbeda dengan realitas pendidikan di Indonesia. Dalam berbagai seminar dan diskusi seringkali dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan di Riau masih rendah. Dalam seminar dan diskusi yang lain digembar-gemborkan bahwa Riau memiliki kekayaan sumberdaya alam yang cukup menjanjikan. Dua kondisi di atas bila dianalogikan sebagai sebuah kutub magnet yang berbeda, seharusnya terjadi hubungan tarik menarik. Namun setakat ini medan magnet tersebut masih relatif lemah. Mengapa?Idealnya sebuah daerah yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah memiliki sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni untuk mengelola kekayaan alamnya untuk kemakmuran masyarakat. Karena kemajuan suatu daerah lebih banyak ditentukan oleh kualitas SDM sebagai penggerak utama roda pembangunan. Apalagi di era otonomi daerah ini sudah seharusnya pemerintah setempat melakukan manuver untuk melejitkan kualitas pendidikan agar masyarakat tidak berpikir ortodoks akibat nilai-nilai pengetahuan yang termarjinalkan. Karena salah satu ciri masyarakat dinamis selalu melahirkan inovasi baru dalam melakukan perubahan menuju tatanan kehidupan yang lebih baik.Dalam sebuah wawancara dengan penulis, Rektor UIR Profesor Hasan Basri Jumin pernah mengatakan bahwa pengembangan pendidikan di Riau masih sangat lamban. Hal ini disebabkan belum menyatunya gagasan dalam upaya peningkatan pengembangan pendidikan. Seperti halnya Profesor Kinosita di atas, pendidikan dasar sembilan tahun dikatakan Profesor Hasan sebagai pondasi yang harus diperhatikan dalam perbaikan kualitas pendidikan. Karena ini sangat potensial untuk meningkatkan partisipasi pendidikan dan peningkatan kemampuan hingga perguruan tinggi.Salah satu wacana yang pernah berkembang untuk mengentaskan permasalahan pendidikan adalah dengan mengimplementasikan konsep pendidikan gratis untuk pendidikan dasar dan menengah. Namun hal ini belum terwujud, karena belum adanya kebijakan politis yang memihak kepada pendidikan. Konsepnya sendiri belum begitu jelas dalam penerapan di lapangan. Kesadaran pemerintah untuk mendongkrak anggaran pendidikan juga belum terlihat mencuat ke permukaan. Sementara keragaman kondisi geografis, ekonomi, sosial, dan budaya masih menjadi kendala. Sebagai contoh tingkat kesadaran warga untuk menyekolahkan anaknya belum tentu sama. Untuk itu perlu adanya persamaan persepsi tentang pentingnya peran pendidikan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.Dengan ketersediaan SDA yang mencukupi, seharusnya pemerintah mulai meningkatkan anggaran komunikasi strategis untuk memasyarakatkan pendidikan. Berbagai bentuk kampanye dan pendampingan sektor pendidikan yang berkesinambungan merupakan salah satu strategi dalam pengelolaan pendidikan hingga ke lapisan masyarakat paling bawah (grassroot). Tujuan pendidikan itu sendiri akan tercapai bila prosesnya komunikatif. Kelompok-kelompok intelektual yang ada di tengah masyarakat perlu dilibatkan dalam komunikasi ini. Bukankah masih banyak sarjana yang belum mendapat lapangan pekerjaan? Tentunya mereka dapat dimanfaatkan oleh pemerintah melalui suatu program yang bertujuan untuk perluasan penyebaran pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian dapat menjembatani kesenjangan tingkat pendidikan masyarakat melalui tranformasi ilmu oleh masyarakat itu sendiri.Paragidma pembangunan pendidikan yang merata dapat menciptakan masyarakat yang edukatif. Sehingga budaya berpikir kritis, dinamis, humanis dan demokratis menjadi karakter masyarakat dengan mengedepankan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Provinsi Riau yang identik dengan kultur budaya masyarakat Melayu memiliki potensi untuk menciptakan kehidupan “masyarakat madani”yang meletakkan pendidikan sebagai pondasi dan tujuan dalam membangun bangsa.
4
Hindari Muatan Akademis pada Beban Pelajaran
JAKARTA, KOMPAS

Usia siswa kelas I-III SD masih tergolong masa kanak-kanak. Sebagai anak yang masih berusia di bawah 10 tahun, perkembangan kejiwaan mereka lebih didominasi oleh naluri bermain. "Oleh karena itu, sungguh tidak proporsional jika pada masa seperti itu muatan pelajaran untuk mereka dijejali dengan aspek akademis dan pendekatan yang formal," kata Mudjito, Direktur Pembinaan TK/SD Depdiknas, di Jakarta hari Rabu (11/1).

Terkait dengan itu, Direktorat Pembinaan Taman Kanak-kanak/Sekolah Dasar Depdiknas tengah merancang pengurangan beban belajar, Aspek akademis yang selama ini ditransformasikan para guru kepada siswa kelas I-III melalui tatap muka di kelas akan direduksi menjadi model permainan dan tak mesti di dalam kelas. Kelak, kata Mudjito, anak-anak kelas I-III SD lebih banyak dikenalkan konsep baca, tulis, dan berhitung dalam bentuk permainan. "Bila perlu mereka lebih banyak di luar kelas, misalnya di halaman sekolah atau lingkungan sosial," ujarnya.

Menurut Mudjito, upaya pengurangan beban dan pelenturan pola pembelajaran bagi kelas-kelas awal SD tersebut berangkat dari keluhan orangtua siswa bahwa ada kecenderungan putra-putri mereka jadi malas ke sekolah. Setelah diusut, ternyata putra-putri mereka cenderung merasa terbebani dengan muatan pelajaran yang berat. Apalagi bila materinya disampaikan secara kaku di depan kelas. Anak-anak akhirnya malah tidak melakoni pernbelajaran dengan asyik, tapi menganggapnya sebagai beban.
"Kalau kegagapan anak-anak itu dibiarkan dan tidak disikapi secara arif, bukan mustahil mereka nantinya putus sekolah di tengah jalan," tambah Mudjito.

la menjelaskan, awal Januari ini pihaknya telah menyampaikan usulan pengurangan beban belajar kepada Badan Standar Nasional Pendidikan. Pengajuan usulan tersebut bertepatan dengan momentum digodoknya standar isi pendidikan dan struktur kurikulum oleh BSNP.

Pembelajaran tematik
Secara terpisah, Ketua BSNP Bambang Suhendro mengatakan, pihaknya memang tengah mengkaji usulan tersebut. Kelak, di kelas I-III SD tak ada lagi mata pelajaran diberikan secara tersendiri, tetapi secara tematik.
Misalnya, dengan mengarahkan siswa bermain di halaman sekolah, pelajaran Matematika. Ilmu Pengetahuan Sosial. dan Ilmu Pengetahuan Alam bisa diberikan sekaligus. Dengan demikian, beban belajar akan berkurang dan tak selamanya harus melalui tatap muka di kelas.

"Saat ini kebetulan kami tengah memfinalisasi standar isi pendidikan dan struktur kurikulum yang pada akhirnya akan mengurangi beban dan pelajaran rata-rata 10 persen pada jenjang SD/Ml-SMA/MA," kata Bambang Suhendro.

Dalam uji publik standar isi pendidikan tanggal 21-23 Desember 2005, BSNP telah merancang beban belajar kegiatan tatap muka untuk jenjang SD/Ml hingga SMA/MA. Untuk jenjang SD/MI kelas I-III, dirancang 29-32 jam pelajaran per minggu atau 986-1.216 waktu pembelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara dengan 35 menit. Untuk kelas IV-V1. dirancang 34 jam pelajaran perminggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 35 menit. Untuk SMP/MTs dirancang 34 jam pelajaran per minggu atau 1.156-1.292 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran untuk tingkat ini setara 40 menit. Adapun untuk SMA/MA dirancang 38 jam pelajaran perminggu atau 1.292-1444 jam pelajaran per tahun. Satu jam pelajaran setara 45 menit (NAR).
Kompas, 12 Januari 2006
5
Sekolah Ambruk, 91 Siswa Mengungsi Belajar
By admin
Wednesday, January 07, 2009

TUNTANG, RABU — Sudah sekitar tiga hari sebanyak 91 siswa kelas I hingga kelas III Sekolah Dasar Negeri Tuntang II, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terpaksa harus mengungsi belajar. Pasalnya, tiga lokal kelas gedung sekolah itu ambruk atapnya. Hingga Rabu (7/1) belum tampak ada upaya perbaikan dari Pemerintah Kabupaten Semarang. Sejumlah guru yang ditemui mengemukakan, 95 persen atap ke tiga lokal kelas itu ambrol pada 30 Desember 2008 sekitar pukul 09.00. Ambruknya atap itu saat ruang kelas kosong karena para sisiwa libur menjelang peringatan Natal dan Tahun Baru 2009. Kami sudah melaporkan kerusakan gedung sekolah ini, namun belum ada tanggapan atau upaya perbaikan dari pemkab, kata Djumadi dan Budianto, guru yang mengajar di SD Negeri Tuntang II. Untuk mencegah kerusakan meluas, pihak guru bersama warga telah bekerja bakti memasang tiang penahan sisa atap di ruang kelas III. Atap runag kelas III yang tinggal separuh itu dipasang dua tiang dari bambu, supaya tidak ikut runtuh. Kondisi gedung sekolah yang rusak itu akhirnya dibiarkan dan para siswa mengungsi belajar di rumah penduduk sekitar sekolah. Winarto Herusansono Sumber: Kompas.c0m

Citra Sekolah Kejuruan dan Madrasah Sebagai Sekolah Kelas Dua

Oleh: MarjohanGuru SMA Negeri 3 Batusangka
Adalah fenomena bahwa pendidikan atau sekolah itu sudah terkotak- kotak di Indonesia dan dimana-mana di atas dunia ini. Untuk Indonesia ada sekolah agama dan ada sekolah umum, orang yang taat menyebutnya dengan sekolah sekuler. Ada sekolah swasta dan ada sekolah negeri. Kemudian secara vertikal ada Sekolah Dasar (SD), SMP, STLA dan perguruan tinggi. Untuk tingkat SLTA ada namanya SMA, MA dan SMK. SMA jumlah sangat banyak dan terlihat serba diperhatikan alias dianak emaskan oleh masyarakat, pemerintah dan malah juga oleh media massa. Event- event yang ada di SMA dikupas tuntas dan disebarluaskan, kemudian berita- berita tentang MAN dan SMK porsi nya tidak berimbang dibandingkan SMA. Secara konvensional orang mengatakan bahwa anak-anak yang belajar pada MAN kelak bisa menjadi anak surga (baca: generasi yang taat) dan dulu ketika STM belum lagi dikenal dengan sebutan SMK, dikenalkan sebagai sekolah yang murid-muridnya suka berkelahi massal atau tawuran.
Pemerintah tampaknya menjadikan SMA sebagai “anak emas” dan agar lulusannya bisa berkualitas maka pemerintah (dan juga tokoh politik di DPR) menyelenggarakan berbagai kegiatan dan program yang jauh lebih intensive dan sampai mematok standar kelulusan SMA. Karena hanya dari SMA-lah kelak lahir dan bermunculan pemimpin bangsa, tokoh intelektual dan orang-orang hebat. Kemudian mengapa kualitas SMK dan MAN tidak begitu banyak disorot, digubris, dicikaraui apakah tak mungkin akan lahir pemimpin bangsa dan orang orang hebat dari kedua institusi pendidikan ini?
Dunia pendidikan atau dunia sekolah itu ibarat anak kecil, itu karena di sana merupakan tempat kedua terjadinya proses sosialisasi bagi anak-anak (anak didik) setelah rumah mereka. Anak- anak yang memperoleh cukup perhatian, banyak pengalaman dan kaya rangsangan atau stimulus secara kognitif, psikomotorik dan afektif akan tumbuh menjadi anak yang percaya diri. sementara anak yang merasa kurang diperhatikan dan kurang pula dalam memperoleh stimulus dan kesempatan untuk bereksperimen, cenderung mempunyai karakter “withdrawal” atau suka menarik diri, mengalami perasaan inferior complex atau rendah diri.
Masyarakat dan pemerintah adalah ibarat orang tua bagi dunia pendidikan. Sebut saja anak mereka yang berusia remaja bernama “SMK, MAN dan SMA”. Dewasa ini perhatian pemerintah menurut kacamata orang awam, perhatian mereka terhadap pendidikan siswa SMA sungguh banyak porsinya. Bila ada prestasi yang diukir oleh siswa SMA maka publikasinya terasa sangat menggema sampai ke mana-mana sementara publikasi tentang kegiatan yang ada pada SMK dan MAN cenderung sepi atau biasa-biasa saja.
Anggaplah pemerintah cukup bersikap adil (dan memang pemerintah sudah adil dalam memberikan kebijakan terhadap pendidikan di SMA dan SMK), namun sekarang tinggal lagi perlakuan masyarakat? Adalah fenomena dalam masyarakat, bahwa SMA adalah sekolah bagi anak-anak yang ingin melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Masukan anak ke MAN agar ia bisa menjadi orang taat dan SMA adalah sekolah sekuler. Kemudian pilihlah SMK kalau orangtua tidak mampu secara finansial, dan biarlah anak belajar di sana agar kelak cepat memperoleh kerja–menjadi pekerja, menjadi buruh atau menjadi TKI?
Dalam setting pada mulanya, keberadaan SMA, SMK dan MAN adalah sama dan cukup bagus. Namun dalam pelaksanaan dalam masyarakat terlihat kecendrungan bahwa kalau orang tua punya anak yang cerdas atau ingin punya anak cerdas maka mereka harus mengirim (dan mencarikan SMA) yang berbobot untuk mendidik mereka, agar kelak bisa tumbuh jadi orang terpandang. Apa saja persyaratan yang diminta oleh komite sekolah (di SMA) terhadap orang tua, maka hampir seratus persen akan dipenuhi. Sementara itu bila anak kalah dalam seleksi otak, atau anak orang tuanya kalah seleksi secara finansial atau keuangan maka mereka diultimatum, direkomendasikan atau sangat dianjurkan agar memilih SMK saja. Maka jadilah SMK ini sebagai tempat bersekolahnya anak-anak dengan mental inferior complex, berasal dari orang tua dengan ekonomi lemah dan anak-anak yang kualitas otaknya kurang beruntung.
Adalah fenomena umum bahwa kualitas pendidikan sekolah agama itu dipandang lebih rendah dari sekolah umum. Citra ini diciptakan sendiri oleh anak didik dan masyarakat. Tengoklah eksistensi ini pada banyak sekolah. Anak- anak pintar yang belajar di sana semuanya bermimpi agar bisa kuliah kelak pada universitas favorite yang berada di Pulau Jawa atau kalau perlu langsung di universitas luar negeri. Kalau gagal maka tahun depan (atau sudah pasang ancang-ancang) untuk memilih universitas ngetop di provinsi mereka. Bila gagal atau merasa kemampuan otak lemah maka dengan rasa enteng mereka memilih perguruan tinggi Islam, dan pada akhirnya berkumpulah orang-orang yang kultur dan percaya diri-nya rendah belajar di perguruan tinggi ini.
Kemudian juga menjadi fenomena bahwa dalam rekruitmen tenaga pendidik, maka orang yang merasa pintar cenderung memilih sebagai guru SMA, kemudian sisanya bagi yang merasa diri bersahaja atau takut kalah dalam persaingan, mereka memilih untuk menjadi tenaga pengajar pada MAN.Dalam fakta bahwa cukup banyak guru berkualitas dan bermutu yang hadir sebagai tenaga pendidik di MAN dan SMK. Namun kenapa kedua sekolah ini tidak menggeliat dalam hal mutu secara umum? Keberadaan tenaga pendidik agaknya tidaklah menjadi masalah karena mereka bersal dari perguruan tinggi yang sama dengan rekan-rekan mereka di SMA. Yang menjadi masalah adalah sikap anak didik yang belajar di sana, sebagai produk sosialisasi dari rumah mereka, yang terbentuk dari lingkungan rumah untuk menjadi orang yang serba bersahaja, sikap fatalistik atau pasrah dan ini adalah menjadi tugas bagi pemerintah dan masyarakat untuk menyembuhkan gejala inferior complex mereka.
Kalau sekolah MAN dan SMK merasa sebagai sekolah kelas dua, gara-gara citra yang telah dibentuk oleh masyarakat, pemerintah, aktor politik dan pemberitaan media massa . Maka untuk mengembalikan harga diri atau citra mereka, tentu menjadi tanggung jawab masyarakat, pemerintah, aktor politik dan media massa pula.
Masyarakat tentu perlu juga untuk memberikan perhatian dan partisipasi dalam membesarkan dan menumbuhkan harga diri kedua sekolah ini. Adalah juga tepat bila orang tua memiliki anak cerdas dan super cerdas menyuruh mereka untuk belajar di sini dan kemudian ikut mendukung program pengembangan mutu pendidikan. Pemerintah dan aktor politik juga harus adil. Bila mereka berdebat tentang kualitas pendidikan di SMA-seperti membahas angka kelulusan SMA, maka coba pulalah untuk berdebat untuk meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah MAN dan SMK. Kemudian media masa juga harus berimbang dalam pemberitaan, janganlah hanya rajin mencari berita yang serba bagus ke SMA, tapi ia juga perlu bekerja intensive untuk meliput pendidikan pada MAN dan SMK. Media Massa hanya rajin meliput Pendidikan MAN (agama) seputar bulan puasa.Namun sebagai orang yang mau dewasa, maka MAN dan SMK juga tidak boleh menyalahkan pihak lain seperti pemerintah, aktor politik dan orang tua atau masyarakat sebagai sumber masalah, menjadikan kedua sekolah ini sebagai sekolah kelas dua. Dalam pelajaran agama kita diberitahu bahwa “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum (nasib kita), kecuali kita sendiri yang mengubah nasib ini’. Maka MAN dan SMK bisa dan harus menjadi sekolah kelas satu (first class), usahanya harus dilakukan oleh segenap personalia di sekolah ini(guru, murid, orang tua dan lingkungan).Sekolah ini perlu melakukan publikasi, melakukan lomba yang eventnya dikemas seapik mungkin dan dipublikasikan. Untuk SMA biasanya ada lomba English speech contest, maka siswa MAN juga harus menggelar Arabic Speech contest, dan setting suasana menjadi moderen. SMK mungkin bisa melakukan robot creative contest. Atau perlombaan kreativitas lain. Kemudian kedua sekolah ini coba menumbuhkan prilaku yang smart (walau cukup banyak prilaku yang sama terjadi pada beberapa SMA), mengembangkan sikap intelektual, sikap kritis, menjauhi sikap kekanak-kanakan. Mengembangakan program kepintaran berganda anatara IQ, SQ dan EQ. Pintar dengan angka-angka, pintar olah raga, pintar berpidato, pintar mengelola waktu, menguasai bahasa asing, komputer dan internet dan mantap nilai keimanan. Pendek kata berimbang anatara IPTEK dan IMTAQ (ilmu pengetahuan dan teknologi serta iman dan taqwa).