Thursday, June 11, 2009

Keilmuan di Pesantren Harus Terus Dikembangkan

Kamis, 30 Oktober 2008
Jakarta (www.pondokpesantren.net) - Pesantren itu dunia yang paling sulit untuk distandarisasi keilmuannya. Sebab ada pesantren yang dibentuk setelah adanya pertimbangan yang matang berdasarkan satu visibility study, tetapi juga ada yang dibesarkan karena hobi. Demikian dikatakan KH. Tolhah Hasan pada acara Halaqah Pengembangan Pondok Pesantren di Hotel Millennium Jakarta Minggu (26/10/2008) yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI.
Yang kemudian terjadi adalah munculnya masalah pada visi keilmuan pesantren itu sendiri. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren kalau mau dilihat secara keilmuan masih-lah sangat njomplang (timpang - red). Keilmuan di pesantren itu terlalu fiqhiyah, orientasi pada ilmu agama ke fiqh. Jarang sekali yang mendalami keilmuan agama seperti tafsir misalnya, imbuhnya.

Lebih lanjut mantan Menteri Agama pada masa Gus Dur ini berujar, di Indonesia ini ada sekian ribu madzhab tahfidzul Qur’an. Tapi sampai pada hari ini, hanya terbatas pada tahfidz. Tidak ada dari sekian ribu itu yang mengembangkan keilmuannya lebih lanjut, menjadi tafhimul Qur’an. Saya melihat contohnya di Sudan, di sana sudah ada Jami’ah al-Qur’anul Karim. Itu yang S3-nya Jami’ah al-Qur’anul Karim ini, asbabun nuzul itu sudah dihafal di luar kepala. Mengapa di Indonesia tidak bisa? Saya sudah berbicara dengan kyai-kyai tahfidzul Qur’an, kenapa tidak melakukan asosiasi? Yang salah satunya nanti diangkat menjadi pesantren tahfidzul Qur’an lanjutan. Sehingga mempelajari ulumul Qur’an tidak terbatas pada tartil dan tahfidz, sampai pada ilmu-ilmu Qur’an semisal asbabun nuzul dan juga yang lain. Sehingga Indonesia memilki ahli-ahli al-Qur’an yang bagus. Sambungnya.

Misalnya di UIN Malang sudah melahirkan seorang ahli fisika yang juga hafal al-Qur’an. Suruh meneruskan saja itu, studi al-Qur’annya dalam bidang fisika. Ini yang namanya Islamisasi keilmuan. Sehingga kita nanti memiliki seorang ahli al-Qur’an yang paham fisika di dalam al-Qur’an. Tapi kita miskin dalam hal gagasan-gagasan semacam ini. Hampir 800 ayat al-Qur’an yang mengandung masalah sains, tapi sampai hari ini di Indonesia itu belum ada satu pun tafsir tentang sains.

Dulu pada masa Presiden Habibie, kami pernah mengusulkan untuk membentuk satu tafsir tematik al-Qur’an ini. Tafsir mengenai politik, tafsir mengenai ekonomi, juga tafsir sains. Sayang di Indonesia ini kalau sudah ganti menteri maka ganti kebijakan. Gagasnya.

Oleh karena itu, mengapa visi keilmuan kita tidak pernah menjadi guru di dunia, karena memang keilmuan kita banyak yang nanggung. Demikian juga dengan referensi bahan bacaan dan fasilitas kita itu terbatas sekali jenisnya maupun jumlahnya. Tafsir yang disediakan di pesantren itu paling banyak hanya tafsir Jalalain. Untung kalau ada misalnya tafsir ibn Qatsir atau tafsir Ibn Qayim. Tafsir yang lain yang termasuk kuning, itu hampir-hampir tidak terbaca.

Beliau lalu bercerita, dulu waktu nyantri di pondok Tebuireng Jombang, al-Kutubus sittah itu dibaca. Dan ijazah tanpa kertas, ijazah safahiyah dari kyai yang mengajarkan pada santri yang mengaji itu. Masalah sanad minal muallif itu jelas. Riwayat guru mengajar murid sampai pada muallif itu ada. Dan sekarang kyai yang baca ini tidak ada.

Memang pesantren sekarang ini berkembang. Jumlahnya tambah dan gedungnya bagus-bagus, tapi dari segi kualitas ini mengalami semacam penurunan. Saya masih mengaji pada Mbah Idris (Tebuireng), sekali dalam seminggu, selama tiga jam dan itu mengaji tiga tafsir sekaligus. Tafsir ibn Qayim, tafsir Baidhawi, dan Tafsir Ibnu Katsir. Sembilan santrinya disuruh membaca sendiri sampai selesai. Tapi kadang, baru setengah jam saja, beliau sudah memberi komentar panjang lebar.

Di pesantren kita itu, kebanyakan tidak seimbang antara pengajian fiqh dan ushul fiqhnya. Fiqihnya sudah fathul wahab, ushulnya baru waraqat. Ini tidak pas. Sehingga pemahaman fiqh hanya sebagai produk tidak sebagai proses. Dari sini dapat dilihat bahwa memang pembacaan pada kitab memang kurang. Kitab bagus semisal karya Said Ramadhan al-Buthi, Dhawahibul Maslahat fi Syar’i Islamiyah, kitab semacam ini sama sekali tidak terbaca. Padahal kalau kita buka apa yang ditulis Said Ramadhan, Ibrahim Sulaiman, ini salafi semua. Mengutip dan menguraikan pendapat-pendapat ulama dahulu.

Mantan Direktur Pascasarjana UIN Malang ini kemudian mengusulkan bahwa pengayaan keilmuan di pesantren kalau kita mau mengembangkan pesantren adalah hal yang wajib, kalau kita mau memperluas cakrawala keilmuan betul-betul dapat diwujudkan. Dan saya mengusulkan bantuan pada pesantren itu bukan dalam bentuk bangunan atau komputer, tapi buatlah perpustakaan yang dapat diakses para santri. Bukan hanya diakses oleh kyai. Sebab kalau perpustakaan itu ada di rumah kyai, maka santri tidak berani masuk. Jadi kiainya yang semakin pintar, sedangkan santrinya tidak. Karena memang kebanyakan perpustakaan di pesantren itu ada di rumah kyai. Padahal ini merupakan satu bagian bentuk penambah dan pembuka cakrawala wawasan santri. Apakah itu perpustakaan dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk digital.

Lebih lanjut beliau berujar, untuk betul-betul memahami agama tidak hanya melalui pembelajaran ilmu agama, tetapi juga harus ada sisi lain yang dilakukan, pengalaman beragama. Pendidikan agama yang kita kembangkan sekarang ini hanyalah pembelajaran ilmu agama. Tapi bukan pengembangan pengalaman agama. Menurut saya, amal-amal yang menjadi bagian-bagian pengalaman keagamaan menentukan sekali kualitas pesantren kita. Banyak sekali misalnya, orang-orang yang pandai sekali berdalil, namun, sekedar dalil untuk mendalili orang lain, dia tidak pernah melakukan apa yang diperintahkannya pada orang lain.

Oleh karena itu, saya menganjurkan agar gus-gus dari pesantren itu meningkatkan kemampuan mereka dengan menimba ilmu sebanyak mungkin. Dan dari pembicaran kami, Pak Menteri kemarin menjanjikan akan ada 10 tempat yang akan disediakan bagi para gus-gus dari pesantren untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Dan tentunya ini memakai seleksi. Saya usulkan minimal S2, kalau bisa S3. Apa kepentingannya? Pertama, agar supaya memperluas wawasan keilmuan Islam saat ini. Kedua, agar memiliki kredibilitas di kalangan pesantren. Dan ketiga, agar memiliki perbandingan antara pesantren di Indonesia dan di luar. Ini beberapa hal yang ingin kita sampaikan, agar dunia pesantren kita memiliki citra kegemilangannya. Ujarnya. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=126

PP. Al-Hikmah Tuan Rumah Silaturahmi Mahasiswa Santri Berprestasi

Jumat, 14 November 2008
Brebes (www.pondokpesantren.net) - Komitmen mahasiswa program ‘Beasiswa Santri Berprestasi’ kepada dunia pesantren harus terus menerus diteguhkan. Sebab, ada kekhawatiran setelah lulus dari perguruan tinggi, si mahasiswa lupa dengan pesantren dan juga nilai-nilainya. Demikian dikatakan Drs. H. Khaeroni, Kasubdit Pemberdayaan Santri dan Layanan Pada Masyarakat Direktorat PD Pontren Depag RI saat membuka rapat kordinasi dengan panitia lokal di PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah kemarin (11/11/08).

Seperti diketahui, PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah akan menjadi tuan rumah untuk pembinaan mahasiswa santri berprestasi. Acara sendiri akan berlangsung selama 4 hari, yakni mulai dari 11 hingga 14 Desember 2008. ‘kita ingin menyamakan visi, misi, dan persepsi kegiatan ini dengan pantia lokal’ sambungnya.

Sebanyak 1.035 santri dari sembilan perguruan tinggi ternama di Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama RI akan mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan itu sendiri menurut Hj. Victoria, Kasi Pengembangan IPTEK pada Subdit Pemberdayaan Santri dan Layanan Pada Masyarakat Direktorat PD Pontren Depag RI, secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni pengabdian dan pembinaan. ‘sebanyak 445 mahasiswa baru akan menjadi peserta pembinaan. Sedang sisanya (mulai angkatan 2005 – 2007) akan mengikuti program pengabdian untuk pesantren’ tandasnya. Kegiatan pengabdian akan dibagi ke dalam 4 jenis kegiatan, dan pembinaan akan dibagi ke dalam 2 jenis kegiatan.

Sementara KH. Masruri Mughni, Pengasuh PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah sangat menyambut baik acara dari Direktorat PD Pontren Depag RI tersebut. Dalam sambutannya, kiai kharismatik ini berujar, acara ini sesungguhnya adalah acara pondok, bukan acara Depag RI. Karenanya, semua panitia harus total. ‘Jangan pernah berpikir bahwa ini adalah acaranya Depag RI. Ini semua adalah acara kita’. Sambungnya.

‘Kami sangat menyambut baik acara semacam ini diadakan di pesantren. Karena saat ini banyak sekali nilai-nilai yang sudah dilupakan oleh para santri yang telah menjadi mahasiswa. Dengan acara semacam ini, berarti jalinan silaturrahmi akan terus terbina’ imbuhnya.

Seperti diketahui, acara di di Brebes itu sendiri merupakan yang ketiga kalinya, setelah yang pertama berlangsung di Hotel Grand Trawas Mojokerto (diikuti 250 peserta), kedua di Hotel Lembang Bandung (diikuti 615 peserta), dan ketiga ini di PP. Al-Hikmah Brebes. ‘Kegiatan ini sengaja kami adakan di pesantren karena dua hal, yakni program direktorat: back to pesantren, dan agar santri tidak lupa dengan nilai-nilai dan tradisi pesantren’. Tandas Drs. H. Khaeroni.

Acara yang sedianya akan dilaksanakan pada pertengahan November ini, tetapi karena satu dan lain hal kemudian diundur ini sendiri setidaknya akan melibatkan sekitar 2.000 santri, 300 ustadz dan 300 masyarakat sekitar pesantren Al-Hikmah. [bet]

sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=136

PD Pontren adakan Workshop Program Pembibitan Santri

Rabu, 26 November 2008
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Dalam rangka menjaring santri-santri berbakat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren mengadakan “Workshop Penguatan Mutu Lulusan Pendidikan Tingkat Menengah Berbasis Pesantren – Program Pembibitan Santri Pondok Pesantren” bekerjasama dengan LeKDIS Nusantara di Hotel Ibis Tamarin Jakarta.

Acara yang berlangsung dari tanggal 25 - 26 November 2008 ini dihadiri oleh 60 (enam puluh) orang para pemimpin pondok dan kepala madrasah aliyah pesantren se-Indonesia.

Dalam sambutan pembukaannya Prof. Dr. Muhammad Ali, MA, Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk menjaring santri-santri berbakat pada pendidikan menengah (madrasah aliyah) di pondok pesantren untuk kemudian dibekali dengan pengayaan materi di bidang sains sehingga mereka mampu bersaing dengan lulusan lembaga-lembaga pendidikan lain dalam memasuki perguruan tinggi unggulan.

Pemberian beasiswa dan pembibitan santri ini lanjut Ali, adalah juga bermaksud ingin menguji apakah potensi yang dimiliki para santri yang kebetulan mengikuti pendidikan di madrasah aliyah pesantren memungkinkan atau tidak untuk bersaing dengan lulusan pendidikan lembaga lain untuk memasuki ke perguruan tinggi umum.

Faktanya, dari 650 orang santri yang mengikuti program beasiswa santri berprestasi ternyata hanya 5 orang saja yang memperoleh IPK kurang dari 3,00. Hal ini berarti, tandas Ali ”margin error”nya kurang dari 1%, dan mereka juga mampu bersaing dengan lulusan sekolah umum.

Sebagaimana diketahui, Departemen Agama khususnya Direktorat PD Pontren mempunyai program beasiswa santri berprestasi yang sudah berlangsung selama 4 tahun (sejak 2004). Sedangkan program pembibitan santri adalah juga bagian dari program ini yang merupakan ”terobosan” dalam upaya mempersaingkan lulusan madrasah aliyah pesantren untuk memasuki perguruan tinggi unggulan.

Sementara itu H. Amin Haedari selaku Direktur PD Pontren dalam sambutan pengantarnya mengatakan bahwa teknis pelaksanaan pembibitan santri ini adalah dengan ”diambil”nya para santri dari madrasah aliyah pesantren saat menginjak semester 6 untuk dididik selama 3 bulan di Bandung. Jadi santri hanya mengikuti pelajaran di madrasah aliyah selama 5 semester sedangkan semester terakhir (semester 6), para santri akan dididik oleh team dari para pakar sains ITB. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=149

Kitab Kuning Trade Mark Pesantren

Selasa, 02 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) – “Kitab Kuning (turats) adalah simbol keilmuan pesantren; suatu trade mark yang lekat dengan dunia pesantren “, demikian dikatakan Drs. H. Suryadharma Ali, M. Si, Menteri Negara Koperasi Dan UKM pada pembukaan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional III di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan (01/12/08).


Dalam kerangka itulah, lanjut Suryadharma, menyambut baik dan memberikan apresiasi yang sepatutnya terhadap penyelenggaraan Musabaqah Qira’at al-Kutub (MQK) ini sebagai ajang prestisius kalangan santri yang memiliki kualifikasi dan pendalaman isi kitab kuning.

Dan diharapkan, tandas Suryadharma, musabaqah ini dapat menjadi pemantik (trigger), daya dorong yang kuat bagi santri untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam berbagai cabangnya seperti; Al-Qur’an, Hadits, Ushul, Lughah, dan lain-lain. Disamping itu, musabaqah ini bisa memperkuat fungsi pesantren, yakni maintenance of islamic knowledge (melestarikan warisan pengetahuan Islam yang diperoleh secara turun temurun dari generasi salaf as-shalih), dan melahirkan ulama yang berkarakter luhur dan memiliki kapasitas keilmuan tinggi.

Dalam wawancaranya dengan media, Suryadharma yang juga ketua salah satu parpol ini menegaskan bahwa kitab kuning menjadi pengetahuan yang komtemporer karena kitab kuning masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan. “Kalau ada permasalah baru yang belum ada hukumnya, maka kitab kuning akan menjadi rujukan untuk memmecahkan masalah-masalah tersebut”.

Namun patut disayangkan, lanjut Suryadharma, sekarang ini tradisi menulis sekarang ini berkurang dibandingkan dengan pada jaman dulu. “Ulama‘ sekaliber Syekh Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Palimbani, Nawawi Al-Bantani, Mahfudz Termas, Ihsan Jampes, Soleh Darat Al-Samarani, dan Syekh Yasin Al-Padangi adalah ulama‘-penulis yang produktif dan menghasilkan karya-kaya monumental yang dapat dibaca dan dipelajari oleh kita hingga saat ini. Sayangnya, tradisi kepengarangan tersebut seakan padam di lingkungan pesantren”.

Namun hal lain yang positif, lanjut Suryadharma, tradisi membaca, memperdebatkan dan mempelajari kitab kuning terus berlangsung di pondok pesantren. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=154

Kontekstualisasi Kitab Kuning di Era Global

Rabu, 03 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) - ”Budaya kitab kuning yang menguasai pesantren, ternyata bisa diterapkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern ini”. Demikian dikatakan Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan, MA, Mantan Menteri Agama RI dalam sarasehan ”Memperkuat Kelembagaan MQK, Membangun Tradisi Keilmuan Pesantren” pada acara MQK Nasioanl III di Banjarmasi Kalimantan Selatan (2/1208).

Sesuai dengan tema ”Kontekstualisasi Kandungan Kitab Kuning di Era Global”, Kyai Tolhah mengatakan bahwa bukan sekarang saja kontekstualisasi terjadi akan tetapi sejak belum ada kitab kuning sampai kitab kunig mulai ada, usaha menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat telah terjadi.

Menyinggung tentang perkembangan kitab kuning sampai sekarang, lanjut Tolhah, lebih dikarenakan beberapa faktor; pertama, munculnya masyarakat muslim kosmopolitan yang membutuhkan pelayanan mulai akhir abad 1 H. Kedua, lahirnya ilmu-ilmu naqliyah & aqliyah secara spektakuler di dunia Islam. Ketiga, tersedianya fasilitas penulisan, terutama kertas. Keempat, banyaknya ulama dan cendekiawan Islam yang kompeten suka menulis dan membaca. Dan kelima sikap para penguasa yang cinta ilmu dan budaya.

Kemudian, mengapa kontekstualisasi kandungan kitab kuning menjadi penting, tegas murid KH. Hasyim Asy’ari. Pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. ”Kalau hal ini tidak diperhatikan maka masyarakat tidak akan lagi tertarik dengan pesantren”. Kedua, terjadinya realitas kepentingan umat.

Ketiga, adanya temuan baru dalam iptek. Dulu ulama berijma’ bahwa bumi ini tidak bergerak kecuali bila ada faktor lain. Kalau pemahaman ini tidak dikontekstualisasikan, maka kitab kuning tidak aka menarik untuk dipelajari. Keempat, adanya tantanga baru yang dihadapi umat. Maka, perlu ada kesepakatan baru para ulama tentang kedua hal terakhir tsb, tegas Tolhah.

Sementara itu H. Amin Haedari, Direktur PD Pontren Departemen Agama dalam sambutan sarasehan ini mengatakan bahwa dengan forum ini, tidak hanya musabaqah saja akan tetapi mencoba memberi rangsangan, memfasilitasi dan dorongan agar lahir lagi karya-karya ulama yang nantinya bisa mewarnai pemikiran keagamaan yang ada di Indonesia.

Sedangkan H. Abdullah Syarwani, mantan Duta Besar Lebanon, berbicara tentang pengembangan MQK, Ia berpendapat agar MQK ini menjadi leadnya pengembangan pesantren. Acara ini tidak hanya diselenggarakkan selama 2 tahun sekali, tetapi disetiap pesantren harus merupakan kegiatan yang berkesinambungan.

Bahkan bukan mustahil MQK akan lebih besar dan lebih strategis daripada MTQ kalau MTQ tidak diikuti musabaqah tafsirnya, lanjut Syarwani. Iqra dalam membaca kitab kuning bukan sekedar membaca secara fisik, melek huruf. Akan tetapi iqra diterjemahkan memahami secara mendalam, research. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=157

Santri Tidak Hanya Menguasai Kitab Kuning Saja

Sabtu, 06 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) – “Mengingat kemajuan teknologi yang demikian pesat, maka para santri seharusnya tidak hanya mememiliki kemampuan di dalam memahami kitab kuning, akan tetapi juga harus memiliki kemampuan bidang-bidang yang lain sehingga dengan kemampunnya tersebut bisa memberikan manfaat kepada lebih banyak orang”. Demikian dikatakan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, Prof. Dr. Muhammad Ali, MA, dalam sambutan penutupan MQK Nasional III di Banjarmasin (4/1208).

Menurut Ali, dalam perkembangan jaman, pesantren salafiyah tidak hanya mengembangkan dalam memahami kitab kuning saja namun juga dituntut kemampuannya dalam memahamami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain dalam kategori sains dan teknologi. Akan tetapi, sambung Ali, pemahaman terhadap kitab kuning masih dianggap sebagai tolok ukur utama santri di dalam menempuh pendidikan di pesantren. “Pemahaman akan kitab kuning adalah inti pengetahuan para santri khususnya yang mengembangkan pendidikan salafiyah. Oleh karena itu, pemahaman kitab kuning dianggap sebagai tolok ukur dari keberhasilan para santri menimba ilmu pengetahuan di pesantren”.

Bahkan kalau santri kembali ke masyarakat dan menjadi tokoh masyarakat serta membina pondok pesantren maka kemampuan tersebut masih menjadi tolok ukur dalam menilai apakah kyai atau ustadz tersebut merupakan "jebolan" pesantren dan menguasai ilmu agama atau tidak, tegas Ali

Pada jaman dahulu, Ali mencontohkan, kyai tidak hanya melayani masyarakat dengan mengajarkan kitab kuning semata-mata bahkan ketika ada masyarakat yang menderita sakit, kyai bisa memberikan pertolongan secara tradisional. Pertengkaran dalam keluarga pun bisa dipecahkan oleh sang kyai. Jadi artinya, kehadiran seorang kyai harus benar-benar memberi manfaat yang komprehensif di tengah-tengah masyarakat karena selain memeiliki kemampuan di bidang keagamaan, kyai juga memiliki kemampuan keilmuan yang lainnya.

Menyinggung terselenggaaranya MQK kali ini, Ali juga mengungkapan bahwa Forum/musabaqah ini bukan hanya untuk menilai kemampuan para santri di berbagai pondok pesantren dalam membaca dan memahami kitab kuning tetapi juga menjadi ajang silaturahmi antar pesantren se-Indonesia.

Dalama musabaqah ini, lanjut Ali, yang dinilai bukan hanya membaca kitab kuning dalam berbagai tingkatan dan berbagai ilmu pengetahuan akan tetapi di dalam memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis di dalam kitab kuning atau apa yang dituangkan oleh pemikir salaf Islam. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=161

Sebanyak 1010 Santri Ikuti Pembinaan di PP. Alhikmah 2 Brebes

Jumat, 12 Desember 2008
Brebes (www.pondokpesantren.net) - Sebanyak 1010 mahasiswa penerima beasiswa santri berprestasi dari Departemen Agama RI mengikuti program pengabdian dan pembinaan di pondok pesantren Alhikmah 2 Benda Sirampog Brebes. Penerima beasiswa yang tersebar di 9 perguruan tinggi ternama di Indonesia ini akan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan selama 4 hari, dari tanggal 11 sampai 14 Desember 2008.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI, H. Amin Haedari dalam sambutan pembukaannya mengungkapkan, kegiatan ini semestinya diikuti 1035 mahasiswa. Tapi yang bisa hadir hanya 1010 mahasiswa karena beberapa mahasiswa ada yang sedang ujian tengah semester (UTS).

Sebagai penanggung jawab program beasiswa santri berprestasi, Lebih lanjut dia mengungkapkan tujuan dikumpulkannya seluruh mahasiswa penerima beasiswa ini adalah untuk menguatkan ukhuwah ma’hadiyah, yaitu persaudaraan antar pondok pesantren. Silaturrrahmi antar penerima beasiswa santri berprestasi ini harus terus dilakukan agar terjadi komunikasi yang sinergis untuk memajukan dan mengabdi pada pondok pesantren’ sambungnya.

Kegiatan ini sendiri menurut dibagi menjadi dua, yaitu pengabdian dan pembinaan. Mahasiswa santri berprestasi angkatan 2005 – 2007 mengikuti kegiatan pengabdian, sedang angkatan 2008 mengikuti program pembinaan. Program pengabdian meliputi bimbingan belajar, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, sunatan misal, hisab rukyat, bakti lingkungan, dan informasi perguruan tinggi. Sedang program pembinaan meliputi dua kegiatan, yakni pembentukan karakter (team building dan personal development) dan penguatan nilai-nilai kepesantrenan.

Kegiatan ini menurut rencana akan ditutup oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Dr. Muhammad Nuh pada hari Ahad, 14 Desember 2008 jam 13.00 WIB. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=165

Mahasiswa Santri Ukir Prestasi Sempurna

Jumat, 12 Desember 2008
Brebes (www.pondokpesantren.net) - Semua penerima beasiswa program beasiswa santri berprestasi dari Departemen Agama RI harus mensyukuri apa yang sudah didapat dengan belajar secara sungguh-sungguh. Demikian dikatakan Prof. Dr. Muhammad Ali, Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI dalam pembukaan kegiatan Pembinaan Mahasiswa Program Beasiswa Santri Berprestasi di pondok pesantren Al Hikmah 2 Brebes Kamis (11/12) kemarin.

Lebih lanjut Guru Besar UPI (Universitas Pendidikan Indonesia)Bandung ini berujar, semua mahasiswa penerima beasiswa yang sekarang berkumpul di sini adalah aset bangsa yang paling berharga. Banyak di negeri ini orang yang berilmu, tapi banyak yang tidak mau mengamalkan. Banyak juga orang yang mau beramal, tapi tidak dilandasi dengan ilmu pengetahuan yang cukup. Tapi juga ada yang berilmu sekaligus mau beramal, tetapi tidak dilandasi dengan akhlak yang mulia.

Karenanya, tema pembinaan mahasiswa program beasiswa santri berprestasi dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Direktorat Jenderal Pendidikan Islam: Berilmu, Beramal, Berakhlakul karimah sangat tepat dan sesuai dengan kebutuhan zaman. Mahasiswa dengan karakter seperti itulah yang sekarang dibutuhkan bangsa ini. Sambungnya.

Dirjen Pendis ini kemudian bercerita, beberapa rektor dari perguruan tinggi yang ditempati mahasiswa santri berprestasi berterima kasih dengan program dari Depag ini karena santri-santri tersebut memiliki nilai yang sangat memuaskan, bahkan sangat mengharumkan nama kampus. Hal ini karena beberapa mahasiswa dari pesantren itu berhasil mendapat IP (indeks prestasi) hampir semupurna, bahkan ada yang mendapatkan nilai sempurna, yakni 4.0.

Pada acara pembukaan itu juga diberikan Tanda Kasih dari Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI untuk 17 mahasiswa dengan nilai terbaik di masing-masing perguruan tinggi untuk setiap angkatan. Sementara Tanda Kasih untuk mahasiswa terbaik untuk semua perguruan tinggi dan semua angkatan diberikan kepada Yahman Fauzi, mahasiswa IPB yang berasal dari pondok pesantren Raudhatul Ulum Guyangan Pati yang mendapatkan nilai IPK sempurna, 4.0 secara berturut-turut. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=164

Menag Komitmen Memajukan Pendidikan Islam

Minggu, 18 Januari 2009
Jakarta, 16/1 - Departemen Agama sebagai penanggungjawab pendidikan Islam di Indonesia memikul tugas dan tanggungjawab sejarah yang besar. Karena itu Menteri Agama Dr. Muhammad Maftuh Basyuni menyatakan komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air.

"Sebagai Menteri Agama, saya berkomitmen dan bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam di negeri yang saya cintai ini," kata Maftuh saat membuka rapat kordinasi dan seminar pendidikan nasional "Pembangunan Pendidikan Islam" di Jakarta, Kamis malam (15/1).

Menurutnya, tanggungjawab itu bukan saja bersifat administrasi-kenegaraan, melainkan tugas kekhalifahan yang diamanatkan oleh Allah SWT dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapanNya kelak di yaumul makhsyar.

"Bagaimana kita sebagai aparat Depag, akan menghadap Allah SWT jika amal salih kita, tugas dan tanggungjawab yang dibebankan kepada kita sebagai penanggungjawab pendidikan Islam tidak kita laksanakan secara amanah?"

Maftuh mengungkapkan, dirinya tidak mau menjadi orang yang muflis (bangkrut) sebagaimana digambarkan oleh Nabi Muhammad Saw, akibat amal yang tidak sepadan dengan amanah yang harus ditunaikan kepada para pendidik, anak didik, orang tua yang menitipkan anak-anaknya di lembaga pendidikan Islam dan stakeholders lainnya.

Dikatakan, bahwa para pendiri (founding fathers) Departemen Agama amat menyadari potensi besar pendidikan Islam saat itu perlu pewadahan dan pengaturan yang tepat agar anak-anak muslim dari berbagai strata bisa melakukan mobilisasi sosial dengan memperoleh akses pendidikan yang layak.

Tugas sejarah itu telah dilaksanakan dengan baik ketika Kementrian Agama saat itu melakukan konsolidasi administrasi lembaga-lembaga Islam secara nasional, termasuk lembaga pendidikan Islam yang sebelumnya mengalami marjinalisasi akibat politik pendidikan penjajah Belanda.

"Tugas kita sekarang adalah melanjutkan perjuangan pendahulu kita dengan melakukan upaya serius dan investasi di bidang pembangunan pendidikan Islam yang lebih bermakna, tepat sasaran dan berorientasi mutu," kata menteri seraya mengingatkan agar jangan cepat puas dengan prestasi yang sedikit. "Teruslah berimprovisasi dan berinovasi mencari jalan-jalan pembaharuan," pinta Menag Maftuh.

Sementara Dirjen Pendidikan Islam Prof Dr Mohammad Ali mengatakan, anggaran pendidikan pada tahun 2009 meningkat signifikan sebagai bukti dari komitmen pemerintah untuk memenuhi tuntutan Undang-Undang Dasar 1945.

"Alokasi Anggaran pendidikan Islam tahun 2009 ini mencapai Rp 21,998 trilyun, dengan perincian anggaran di pusat 6,31 persen, anggaran di kanwil-kanwil 82,09 persen dan anggaran di PTAIN 11,6 persen," paparnya.

Dirjen melaporkan, rakor dan seminar pembanguan pendidikan Islam diikuti 250 peserta terdiri dari pejabat eselon I dan II Depag, para rektor UIN/IAIN dan Ketua STAIN serta para kepala Kanwil. Narasumber yang diundang antara lain, Prof Dr Fasli Djalal (Diknas), KH Ahmad Mustofa Bisri, Drs Farid Wajdi (Wagub Kaltim). (ks). [sumber: www.depag.go.id]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=177

Presiden Serahkan Bantuan untuk Rehabilitasi Madrasah se Indonesia

Rabu, 28 Januari 2009
Surabaya (www.pondokpesantren.net) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono hari Rabu (28/1) siang berada di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah yang terletak di Jl. Kedinding Lor, kawasan Kenjeran, Surabaya. Presiden dan Ibu Negara berada di tengah belasan ribu masyarakat di pelosok utara kota Surabaya itu untuk menghadiri acara Peluncuran Program Bantuan Rehabilitasi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren, serta pemberian beasiswa untuk siswa madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah se-Indonesia. Kedatangan Presiden SBY dan Ibu Ani beserta disambut kesenian Marawis dan Dzikir.

Perwakilan Pondok Pesantren, Sofyan Sauri, dalam laporannya mengatakan, program pendidikan yang disediakan oleh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah merupakan program pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan generasi intelektual yang berakhlak dalam menghadapi era globalisasi. Saat ini, pondok pesantren yang berada di tengah perkampungan padat penduduk ini menampung sekitar 2.000 orang santri, setengahnya tinggal di kompleks sekitar pesantren.

Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, pembangunan di bidang pendidikan di tahun 2009, memiliki arti yang sangat penting. Karena di tahun ini, alokasi anggaran dana pendidikan mencapai 20 persen, dan seluruh jajaran pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan program Wajib Belajar 9 tahun. "Oleh karena itu, dengan momentum yang sangat penting ini, pemerintah berkomitmen untuk bekerja keras dalam melakukan pembangunan di bidang pendidikan. Kami yakin, dengan program yang terarah, harapan untuk memberikan pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat, dapat tercapai," jelasnya.

Acara kemudian dilanjutkan dengan penyerahan secara simbolis oleh Presiden, kepada Madrasah Ibtidaiyah Az Zahir dari Palembang sebanyak Rp. 276 juta, Madrasah Ibtidaiyah AT-Tauhid dari Surabaya sebesar Rp. 274,5 juta, Madrasah Ibtidaiyah Al-Hamid dari Banjarmasin sebanyak Rp. 276 juta, Madrasah Ibtidaiyah Al-Anshor dari Lombok Tengah sebesar Rp. 276 juta, Madrasah Tsanawiyah Ganrang Batu dari Jeneponto sebesar Rp. 276 juta serta Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah dari Surabaya sebesar Rp. 300 juta.

Presiden SBY juga memberikan beasiswa kepada santri-santri berprestasi. Diantaranya adalah Eva Mahmudah, siswi Madrasah Ibtidaiyah Al-Ghozali Rp. 400.000/tahun, kepada Muhammad Hisyam, siswa Madrasah Tsanawiyah Tahsinul sebesar Rp. 700.000/tahun, serta kepada Az Zahro Nurhati Hayati, siswi Madrasah Aliyah Itayu sebesar Rp. 1.000.000/tahun.

Dengan meningkatnya jumlah anggaran untuk pendidikan dalam APBN di tahun 2009, Presiden SBY berharap agar seluruh anggaran dapat digunakan secara tepat guna dan tepat sasaran untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. "Mari gunakan anggaran itu dengan penuh tanggung jawab, tepat sasaran dengan prioritas yang baik dan jangan ada yang menyimpang. Kalau semua digunakan dengan baik, Insya Allah kualitas pendidikan keagamaan di Indonesia akan terus meningkat dengan baik," jelas Presiden.

Tampak hadir mendampingi Presiden dalam acara tersebut antara lain Mendiknas Bambang Soedibyo, Menkum HAM Andi Mattalatta, Mensesneg Hatta Rajasa, Seskab Sudi Silalahi, Menkominfo M. Nuh, serta dua Jubir Presiden, Andi A. Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. (mit) (pip_posted from www.presidensby.info)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=190

Presiden Minta Metodologi Pengasuhan Pesantren dan Madrasah Ditingkatkan

Kamis, 29 Januari 2009
Surabaya (www.pondokpesantren.net) - Pondok Pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pendidikan keagamaan. Oleh karena itu, pondok pesantren dan madrasah diminta untuk terus meningkatkan metodologi kepengasuhannya, sehingga terbentuk watak bangsa yang membuat kehidupan bangsa Indonesia menjadi semakin baik.
Harapan itu disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari Rabu (28/1) siang, di ponpes Assalafi Al Fithrah, di Jl. Kedinding Lor, Kenjeran, Surabaya, Jawa Timur. Menurut Presiden, apabila pendidikan di Indonesia bertambah baik, maka akan lebih banyak lagi putra-putri bangsa yang religius, islami, berakhlak, berbudi pekeri yang luhur, cerdas, terampil, rukun, saling sayang menyayangi dan mencintai bangsa serta tanah air.

"Mereka juga memiliki karakter yang kuat, ulet, pantang menyerah, semangat dan bekerja keras untuk membangun hari esok agar lebih baik," kata SBY. Presiden berada di di ponpes Assalafi Al Fithrah yang berada di pelosok utara kota Surabaya, untuk menyerahkan Program Bantuan Rehabilitasi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Pondok Pesantren, serta menyerahkan beasiswa untuk siswa madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah se-Indonesia.

"Agar kehidupan bangsa bertambah baik, ada empat syarat. Yang pertama adalah masyarakat yang baik. Masyarakat yang baik dapat terwujud apabila perilaku warga masyarakatnya baik, rukun, keadaan kehidupan masyarakatnya aman dan tenteram, taat hukum, taat akan pranata-pranata sosial dan ajaran-ajaran agama, tidak suka kekerasan, apalagi tindakan-tindakan yang merusak," jelas SBY.

Kedua, lanjut SBY, kehidupan bangsa bertambah baik apabila memiliki ekonomi yang baik. "Ekonomi akan terus tumbuh. Tapi pertumbuhan itu harus disamaratakan secara adil, sehingga kesejahteraan rakyat dapat ditingkatkan tahun demi tahun," kata Presiden.

Yang ketiga adalah politik yang baik. "Seluruh rakyat memiliki peluang utuk ikut serta dalam berpolitik, sesuai dengan ketentuan Undang - Undang Dasar dan Undang Undang," kata SBY. Kehidupan berpolitik yang baik, menurut SBY, ditandai dengan adanya Pemilu dan Pilkada yang baik. Presiden SBY berharap bahwa kebebasan tersebut disertai dengan akhlak dan tanggung jawab. "Bukan kebebasan absolut yang merusak tatanan kehidupan. Politik yang baik tidak menghalalkan segala cara. Politik yang baik adalah yang cerdas dan santun," papar Presiden.

Sedangkan yang terakhir, lingkungan hidup yang baik. Presiden SBY mengajak seluruh komponen masyarakat untuk memelihara lingkungan. "Agar tidak terjadi bencana. Lawan perubahan iklim, selamatkan bumi kita dan kehidupan anak cucu kita di masa depan," ujarnya. (win) (pip_posted from www.presidensby.info)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=191

Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Jumat, 27 Februari 2009
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.

Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.

Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren.

Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam.

Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.

Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=219&Itemid=36

Pentingnya Pendidikan Keagamaan di Sekolah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa tujuan pendidikan di sekolah adalah mewujudkan UU yang dituangkan pada GBHN. Realisasi yang sering kita lihat adalah bhwa pendidikan keagamaan tidak diikutkan pada UAN (Ujian Akhir Nasional). Ini jelas bisa dilihat tujuan bangsa indonesia yang dituangkan pada GBHN jauh dari dapat direalisasikan tujuan GBHN tersebut.

Seperti kita lihat pelajaran keagamaan di setiap sekolah yang dikatakan "umum" itu hanya diselipkan pada waktu yang hanya sdikit sekali, padahal jika pendidikan agama di UAN-kan maka bisa dipastikan waktu pembimbingan akan ditambah dan ini layak bagi pelajaran keagamaan.

Tujuan bangsa indonesia akan terrealisasikan karena setiap pemeluk agama akan betul-betul memahami dan melakukan pedoman agamanya.

*> Makna (Q.S al jaljalah : 6-8).
"Faman ya'mal mitskoola dzarrotin khoeron yarrohu. Wa man ya'mal mistkoola dzarrotin syarron yarohu."

Banyak persepsi menyatakan bahwa ayat ini tertuju pada setiap amal yang dilakukan, dan balasannya hanya bisa dirasakan di akhirat saja. Padahal tidak demikian makna dari ayat di atas. Bisa diartikan pada setiap usaha kita, sebagai bahasannya: "Ketika kita bekerja / dalam arti berusaha sedikit yang kita lakukan maka akan mendapat hasil yang sedikit pula."

Sebagai contoh si Anu bekerja sebentar sebagai kuli pasar, maka hasil yang didapat akan sedikit pula, inilah yang dimaksud lain pada ayat di atas.

Kesimpulan dari makna ayat di atas dapat dibuktikan di dunia, bukan di akhirat saja. Tapi lebih jelasnya dunia dan akhirat. Sekecil jarah yang dilakukan / berusaha kita maka sekecil jarah pula yang didapat.

Penulis: Dadan Permana
sumber: http://peperonity.com/go/sites/mview/artikel.2/16907174

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika)

sumber: http://www.maarif-nu.or.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=14

Ujian Kejujuran

Thursday, April 30th, 2009 | Author: suharyanto

Oleh: Suharyanto

Minggu-minggu ini, dunia pendidikan kita tengah disibukkan dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN), baik tingkat SLTA maupun SLTP. Untuk tingkat SLTA telah berlangsung minggu lalu dan kita dikejutkan dengan adanya berita perbuatan curang beberapa oknum kepala sekolah dan guru untuk alasan “menolong” siswanya supaya mendapatkan nilai yang baik.

Mengapa sampai terjadi “perbuatan tidak terpuji” seperti itu? Bukankah kejadian serupa pun terjadi pada UN tahun lalu, dimana beberapa oknum guru tengah mengerjakan soal UN untuk menggantikan hasil kerjaan siswanya dan kemudian tertangkap tangan oleh Densus 88 antiteror. Tidakkah hal tersebut mejadikan pelajaran berharga? Belum lagi bentuk-bentuk kecurangan yang lain yang mungkin tidak kita temui tetapi dapat “dirasakan” aromanya.
Mengapa tiap kali pelaksanaan UN banyak pihak mengalami stress, mulai dari orang tua murid, guru dan bahkan kepala sekolah? Bagi orang tua murid jelas mereka cemas, takut putra-putrinya tidak lulus. Bagi guru dan kepala sekolah barangkali terkait dengan reputasi diri dan sekolah yang bersangkutan. Belum lagi bila keberhasilan (dengan tingkat kelulusan tertentu), taruhannya adalah kedudukannya, jelas ini merupakan sesuatu yang “masuk akal” bila kemudian guru dan kepala sekolah merasa was-was dengan hasil UN.

Apakah hal tersebut merupakan justifikasi pentingnya pengawas dan pemantau independent dalam UN? Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini, pelaksanaan UN harus diawasi oleh Pengawas Independen untuk ”menjamin” pelaksanaan UN berlangsung dengan fair. Walaupun ini tidak menjadi jaminan karena kebocoran bisa terjadi di banyak lini yang tidak terjangkau oleh pengawas independen. Namun dengan adanya pengawas independen menunjukkan bahwa paling tidak pelaksanaan UN yang sudah-sudah dicurigai tidak berlangsung dengan jujur, sebagaimana terlihat dari beberapa kasus dalam UN.

Yah, itulah keprihatinan kita. Kejujuran pelaksanaan UN sudah diragukan sehingga perlu adanya pengawas independen. Laksana pemilu saja, yang memerlukan pengawas dan pemantau independen demi pemilu yang LUBER. Jika dari tingkat sekolah sudah diawali dengan ketidakjujuran, lantas bagaimana dengan kelanjutannya? Inilah krisis pendidikan kita yang sesungguhnya. Sekolah, atau tepatnya pendidikan sudah menjadi objek penderita. Sekolah sudah menjadi ajang permainan pejabat politik, lebih-lebih menjelang pemilu, para petinggi daerah mematok target tertentu. Kedudukan guru dan kepala sekolah menjadi terancam oleh tindakan politis para pejabat politik sehingga untuk mengamankan kedudukannya bertindaklah di luar kejujuran, kasak-kusus tak tentu arah. Nilai-nilai kemandirian dan kejujuran dalam proses pendidikan selama tiga tahun hilang seketika hanya beberapa hari. Proses pendidikan yang juga berlangsung selama 3 tahun harus ditentukan oleh ujian ”kognitif” beberapa hari saja. Sekolah (guru dan kepala sekolah) benar-benar tidak memiliki akses untuk menilai dan menentukan kelulusan murid. Padahal mereka yang tahu persis akan siswa-siswanya. Sebuah sistem yang patut untuk dievaluasi.[]

Bengkulu Ekspress, Rabu 29 April 2009

sumber: http://unib.ac.id/blog/suharyanto/2009/04/

Relevankah Pendidikan Menengah?

Kamis, Agustus 21, 2008

Artikel berikut ini adalah versi asli dari yang dipublikasikan di Opini Kompas, 21 Agustus 2008.


Selama beberapa dekade, pendidikan formal telah menjadi bagian alami dari kehidupan masyarakat moderen sedemikian sehingga kita melihat sekolah sebagai prasyarat untuk menjalani kehidupan yang produktif. Mereka yang tidak bersekolah hampir dapat dianggap akan tersisih dari tatanan masyarakat moderen, tanpa adanya pilihan maupun keberuntungan.

Namun bagaimana sebenarnya pendidikan formal, terutama sekolah menengah, memberikan kontribusi terhadap masyarakat Indonesia? Dua berita di Kompas mengindikasikan bahwa hanya 17,2% dari 28 juta penduduk Indonesia usia 19-24, dan 6,2% dari 306.749 murid di SMP Terbuka yang dapat meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi (5 Agustus 2008).

Padahal kebanyakan SMU, terutama SMUN, masih menekankan hafalan terhadap lebih dari selusin mata pelajaran setiap minggunya dan mempersiapkan siswa untuk Ujian Nasional, dengan harapan kebanyakan dari lulusan sekolah akan melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun ternyata upaya ini hanya mencakup 17,2% pemuda-pemudi Indonesia. Lalu apakah fungsi pendidikan di sekolah menengah bagi 82,8% ‘sisa’nya?

Dalam sebuah kunjungan ke SMAN 1 di Desa Marangkayu, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, saya mengamati siswa-siswi di kelas Kimia sedang belajar menghitung lokasi atom pada tabel periodik untuk mengidentifikasi jenis zatnya. Padahal sekolah tersebut tidak memiliki dana untuk melangsungkan eksperimen di laboratorium kimia, sehingga kemungkinan besar siswa-siswi tidak akan pernah melihat zat-zat kimia yang telah mereka identifikasikan.

Walaupun sebagian dari lulusan SMAN 1 berencana melanjutkan ke universitas, lebih banyak yang akan mencoba memasuki dunia kerja dengan menggunakan ijazah SMA mereka sebagai satu-satunya modal. Di desa yang berpenduduk 22.117 orang, hanya 7% lulusan SMU dan 1,2% lulusan diploma dan sarjana. Dengan kata lain, hanya sekitar 14,6% lulusan SMU yang melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya (Kecamatan Marangkayu, 2008). Lalu apakah gunanya kemampuan untuk mengidentifikasi jenis zat sebuah atom untuk kehidupan dan masa depan kebanyakan murid disana? Nyaris tidak ada.

Ijazah SMU telah dianggap sebagai paspor untuk memasuki dunia kerja, padahal Survei Angkatan Kerja Nasional menunjukkan dari 10 juta pengangguran usia kerja, 55% berpendidikan sekolah menengah (BPS, 2008). Jelas, lulusan sekolah menengah tidak dipersiapkan dan tidak memiliki ketrampilan untuk memasuki dunia kerja.

Pendidikan menengah di Indonesia sangat terfokus pada pengembangan kemampuan akademik menuju universitas, dan karenanya tidak – atau lebih tepatnya belum – relevan bagi mayoritas pemuda-pemudi Indonesia. Pertanyaan yang berikutnya muncul adalah: Lalu, pendidikan menengah seperti apa yang lebih relevan?

Mengambil Desa Marangkayu sebagai contoh kasus, 78% perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara datang dari bidang pertambangan dan penggalian, dan 11% dari pertanian (ProVisi Education, 2007). Sementara di Desa Marangkayu 28,4% bekerja di bidang pertanian dan perkebunan karet, 5% karyawan, 1,7% wiraswasta, dan 2,8% bekerja di bidang pertukangan, nelayan, dan jasa, sementara sisanya tidak terdata (Kecamatan Marangkayu, 2008).

Dengan kata lain, sedikitnya 78% sumber perekonomian tidak melibatkan peran dan belum mensejahterakan kebanyakan warga Desa Marangkayu. Dapatkah pendidikan menengah mencoba mengatasi kesenjangan antara kualitas sumber daya manusia dengan kemampuan untuk mengolah sumber alam lokal? Bukankah pekerjaan kebanyakan penduduk di bidang pertanian dan perkebunan karet seharusnya dapat dijadikan sumber pembelajaran?

Saya tidak menyarankan agar semua sekolah menengah di Kabupaten Kutai Kartanegara berbondong-bondong memfokuskan perhatiannya pada bidang pertambangan, penggalian, dan pertanian. Namun dari pemahaman yang lebih mendalam tentang sumber daya alam lokal, pembelajaran di sekolah dapat bersifat lebih kontekstual dan bermakna bagi keberlangsungan kehidupan dan kemajuan komunitas lokal.

Misalnya, dalam pelajaran Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi, siswa dapat meneliti asal usul keberadaan Desa Marangkayu, latar belakang sosial ekonomi, jenis pekerjaan, dan permasalahan sosial. Dalam pelajaran Geografi siswa dapat mendatangi lahan-lahan pertambangan, perminyakan, pertanian, dan perkebunan untuk mengkaji perbedaan antar lahan. Kegiatan tersebut dapat dikaitkan dengan pelajaran Biologi yang mengkaji kondisi dan masalah lingkungan, ekosistem, jenis tanaman dan binatang lokal, dll.

Kemampuan siswa dalam mewawancara, menganalisa, dan membuat laporan mengasah ketrampilan interpersonal, berpikir, dan berbahasa Indonesia. Pengetahuan tentang sumber daya lokal, dari rumput-rumput ilalang, berbagai jenis daun, dan batu-batuan dapat dijadikan bahan dasar untuk pelajaran Kesenian dan Teknik Ketrampilan, yang hasilnya dapat dijual ke kota terdekat untuk menjajagi kemampuan berwiraswasta.

Kegiatan-kegiatan tersebut bertujuan memberikan ketrampilan dan pengetahuan lokal yang memungkinkan sebagian besar siswa untuk langsung terjun ke dunia kerja, tanpa mengesampingkan pengetahuan akademik bagi mereka yang mampu dan memiliki kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dari pembahasan contoh kasus di atas, tersirat bahwa solusi untuk permasalahan pendidikan menengah yang lebih relevan membutuhkan kajian mengenai kondisi lokal sehingga solusinya bersifat kontekstual terhadap komunitas. Kondisi komunitas yang berbeda membutuhkan solusi yang berbeda pula.

Pendidikan menengah yang kita kenal sekarang baru memberikan tawaran solusi yang diseragamkan dengan menggunakan sebagian kecil penduduk Indonesia sebagai tolak ukur. Sementara untuk mayoritas penduduk, masih perlu dikaji dan dirumuskan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih relevan, yang kemungkinan besar belum kita kenal sekarang.

Bubarnya Pendidikan Sekolah Menengah

Maaf kalau judul postingan kali ini agak keras. Tulisan ini juga merupakan postingan lanjutan dari tulisan saya tahun lalu mengenai PSB (Penerimaan Siswa Baru), khususnya Kota Bandung. Semenjak berubahnya sistem NEM menjadi UAN, UAS, atau whatever-lah, Menurut saya, ini adalah awal kehancuran pendidikan sekolah tingkat menengah (SMP dan SMA). Mengapa? Sistem saat ini benar-benar kacau, nilai hasil UAN tidak dapat dipertanggungjawabkan. Nilai rata-rata anda 8 sudah tidak berguna. Mau masuk SMA Negeri aja luntang-lantung.

Menurut anda apakah nilai 80 dari 100 atau 8 dari 10 cukup besar? (Mohon umpan balik pembaca sekalian). Bagi saya, Iya! Sangat besar. Jujur saja, cukup sulit memperoleh nilai 80, apalagi di bangku kuliah (80 bisa dapet A coy!). Sayangnya, nilai 8 dari 10 tersebut sangat tidak berguna sekali apabila teman-teman masih sekolah. Sangat menyedihkan bukan? (udah dapat nilai gede..Eh, taunya gak kepake..cape deh!).

Saya bukannya tidak bangga akan kualitas pendidikan di negeri ini yang cenderung meningkat(?). Hal ini terlihat dari meningkatnya rata-rata nilai UAN. Namun, rasanya masih tidak logis apabila sangat banyak sekali orang yang memperoleh nilai hampir sempurna. Apalagi terdapat rumor fakta yang menyatakan adanya SMS kunci jawaban UAN SMP dan SMA di Kota Bandung. Diatas kertas, pendidikan di negeri ini memang meningkat. Pada kenyataannya ini adalah kebrobrokan luar biasa.

Bagaimana menurut bapak-bapak pejabat Pendidikan Nasional sekalian? Ingin menghancurkan bangsa ini atau memajukan bangsa ini? Sebaiknya ubah sistem sekarang yang terlalu rawan kecurangan. Apalagi katanya 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bangkitlah dengan Kejujuran!

Written by Wildan

Juli 5, 2008 pada 9:22 pm

sumber: http://wildavy.wordpress.com/2008/07/05/bubarnya-pendidikan-sekolah-menengah/

Sunday, May 31, 2009

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu: Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa. Tujuan penyerta yaitu untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Bentuk Satuan Pendidikan Anak Usia Dini

Menurut Pasal 28 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bentuk satuan pendidikan anak usia dini dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

Jalur Pendidikan Formal

Terdiri atas Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal. Taman Kanak-kanak dan Raudhatul Atfal dapat diikuti anak usia lima tahun keatas. Termasuk disini adalah Bustanul Atfal.

Jalur Pendidikan Nonformal

Terdiri atas Penitipan Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak usia dua tahun keatas, sedangkan Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti anak sejak lahir, atau usia tiga bulan.

Jalur Pendidikan Informal

Terdiri atas pendidikan yang diselenggarakan di keluarga dan di lingkungan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melindungi hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan, meskipun mereka tidak masuk ke lembaga pendidikan anak usia dini, baik formal maupun nonformal.

DETEKSI DINI TERHADAP ANAK-ANAK BERBAKAT

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan antara lain bahwa "warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus" (Pasal 5, ayat 4). Di samping itu juga dikatakan bahwa "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya" (pasal 12, ayat 1b). Hal ini pasti merupakan berita yan gmenggembirakan bagi warga negara yang memiliki bakat khusus dan tingkat kecerdasan yang istimewa untuk mendapat pelayanan pendidikan sebaik-baiknya.

Banyak referensi menyebutkan bahwa di dunia ini sekitar 10 – 15% anak berbakat dalam pengertian memiliki kecerdasan atau kelebihan yang luar biasa jika dibandingkan dengan anak-anak seusianya. Kelebihan-kelebihan mereka bisa nampak dalam salah satu atau lebih tanda-tanda berikut:

  • Kemampuan inteligensi umum yang sangat tinggi, biasanya ditunjukkan dengan perolehan tes inteligensi yang sangat tinggi, misal IQ diatas 120.
  • Bakat istimewa dalam bidang tertentu, misalnya bidang bahasa, matematika, seni, dan lain-lain. Hal ini biasanya ditunjukkan dengan prestasi istimewa dalam bidang-bidang tersebut.
  • Kreativitas yang tinggi dalam berpikir, yaitu kemampuan untuk menemukan ide-ide baru.
  • Kemampuan memimpin yang menonjol, yaitu kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan harapan kelompok.
  • Prestasi-prestasi istimewa dalam bidang seni atau bidang lain, misalnya seni musik, drama, tari, lukis, dan lain-lain.
Pada zaman modern ini orang tua semakin sadar bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang tidak bisa ditawar-tawar. Oleh sebab itu tidak mengherankan pula bahwa semakin banyak orang tua yang merasa perlu cepat-cepat memasukkan anaknya ke sekolah sejak usia dini. Mereka sangat berharap agar anak-anak mereka "cepat menjadi pandai." Sementara itu banyak orang tua yang menjadi panik dan was-was jika melihat adanya gejala-gejala atau perilaku-perilaku anaknya yang berbeda dari anak seusianya. Misalnya saja ada anak berumur tiga tahun sudah dapat membaca lancar seperti layaknya anak usia tujuh tahun; atau ada anak yang baru berumur lima tahun tetapi cara berpikirnya seperti orang dewasa, dan lain-lain. Dapat terjadi bahwa gejala-gejala dan "perilaku aneh" dari anak itu merupakan tanda bahwa anak memiliki kemampuan istimewa. Maka dari itu kiranya perlu para guru dan orang tua bisa mendeteksi sejak dini tanda-tanda adanya kemampuan istimewa pada anak agar anak-anak yang memiliki bakat dan kemampuan isitimewa seperti itu dapat diberi pelayanan pendidikan yang memadai.

Tanda-tanda Umum Anak Berbakat
Sejak usia dini sudah dapat dilihat adanya kemungkinan anak memiliki bakat yang istimewa. Sebagai contoh ada anak yang baru berumur dua tahun tetapi lebih suka memilih alat-alat mainan untuk anak berumur 6-7 tahun; atau anak usia tiga tahun tetapi sudah mampu membaca buku-buku yang diperuntukkan bagi anak usia 7-8 tahun. Mereka akan sangat senang jika mendapat pelayanan seperti yang mereka harapkan.

Anak yang memiliki bakat istimewa sering kali memiliki tahap perkembangan yang tidak serentak. Ia dapat hidup dalam berbagai usia perkembangan, misalnya: anak berusia tiga tahun, kalau sedang bermain seperti anak seusianya, tetapi kalau membaca seperti anak berusia 10 tahun, kalau mengerjakan matematika seperti anak usia 12 tahun, dan kalau berbicara seperti anak berusia lima tahun. Yang perlu dipahami adalah bahwa anak berbakat umumnya tidak hanya belajar lebih cepat, tetapi juga sering menggunakan cara yang berbeda dari teman-teman seusianya. Hal ini tidak jarang membuat guru di sekolah mengalamai kesulitan, bahkan sering merasa terganggu dengan anak-anak seperti itu. Di samping itu anak berbakat istimewa biasanya memiliki kemampuan menerima informasi dalam jumlah yang besar sekaligus. Jika ia hanya mendapat sedikit informasi maka ia akan cepat menjadi "kehausan" akan informasi.

Di kelas-kelas Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar anak-anak berbakat sering tidak menunjukkan prestasi yang menonjol. Sebaliknya justru menunjukkan perilaku yang kurang menyenangkan, misalnya: tulsiannya tidak teratur, mudah bosan dengan cara guru mengajar, terlalu cepat menyelesaikan tugas tetapi kurang teliti, dan sebagainya. Yang menjadi minat dan perhatiannya kadang-kadang justru hal-hal yan gtidak diajarkan di kelas. Tulisan anak berbakat sering kurang teratur karena ada perbedaan perkembangan antara perkembangan kognitif (pemahaman, pikiran) dan perkembangan motorik, dalam hal ini gerakan tangan dan jari untuk menulis. Perkembangan pikirannya jauh ebih cepat daripada perkembangan motoriknya. Demikian juga seringkali ada perbedaan antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasanya, sehingga dia menjadi berbicara agak gagap karena pikirannya lebih cepat daripada alat-alat bicara di mulutnya.

Pelayanan bagi Anak Berbakat
Mengingat bahwa anak berbakat memiliki kemampuan dan minat yang amat berbeda dari anak-anak sebayanya, maka agak sulit jika anak berbakat dimasukkan pada sekolah tradisional, bercampur dengan anak-anak lainnya. Di kelas-kelas seperti itu akan terjadi dua kerugian, yaitu: (1) anak berbakat akan frustrasi karena tidak mendapat pelayanan yang dibutuhkan, dan (2) guru dan teman-teman kelasnya akan bisa sangat terganggu oleh perilaku anak berbakat tadi.

Beberapa kemungkinan pelayanan anak berbakat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan program akselerasi khusus untuk anak-anak berbakat. Program akselerasi dapat dilakukan dengan cara "lompat kelas", artinya anak dari Taman Kanak-Kanak misalnya tidak harus melalui kelas I Sekolah Dasar, tetapi misalnya langsung ke kelas II, atau bahkan ke kelas III Sekolah Dasar. Demikian juga dari kelas III Sekolah Dasar bisa saja langsung ke kelas V jika memang anaknya sudah matang untuk menempuhnya. Jadi program akselerasi dapat dilakukan untuk: (1) seluruh mata pelajaran, atau disebut akselerasi kelas, ataupun (2) akselerasi untuk beberapa mata pelajaran saja. Dalam program akselerasi untuk seluruh mata pelajaran berarti anak tidak perlu menempuh kelas secara berturutan, tetapi dapat melompati kelas tertentu, misalnya anak kelas I Sekolah Dasar langsung naik ke kelas III. Dapat juga program akselerasi hanya diberlakukan untuk mata pelajaran yang luar biasa saja. Misalnya saja anak kelas I Sekolah Dasar yang berbakat istimewa dalam bidang matematika, maka ia diperkenankan menempuh pelajaran matematika di kelas III, tetapi pelajaran lain tetap di kelas I. Demikian juga kalau ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat maju dalam bidang bahasa Inggris, ia boleh mengikuti pelajaran bahasa Inggris di kelas V atau VI.

2) Home-schooling (pendidikan non formal di luar sekolah). Jika sekolah keberatan dengan pelayanan anak berbakat menggunakan model akselerasi kelas atau akselerasi mata pelajaran, maka cara lain yang dapat ditempuh adalah memberikan pendidikan tambahan di rumah/di luar sekolah, yang sering disebut home-schooling. Dalam home-schooling orang tua atau tenaga ahli yang ditunjuk bisa membuat program khusus yang sesuai dengan bakat istimewa anak yang bersangkutan. Pada suatu ketika jika anak sudah siap kembali ke sekolah, maka ia bisa saja dikembalikan ke sekolah pada kelas tertentu yang cocok dengan tingkat perkembangannya.

3) Menyelenggarakan kelas-kelas tradisional dengan pendekatan individual. Dalam model ini biasanya jumlah anak per kelas harus sangat terbatas sehingga perhatian guru terhadap perbedaan individual masih bisa cukup memadai, misalnya maksimum 20 anak. Masing-masing anak didorong untuk belajar menurut ritmenya masing-masing. Anak yang sudah sangat maju diberi tugas dan materi yang lebih banyak dan lebih mendalam daripada anak lainnya; sebaliknya anak yang agak lamban diberi materi dan tugas yang sesuai dengan tingkat perkembangannya. Demikian pula guru harus siap dengan berbagai bahan yang mungkin akan dipilih oleh anak untuk dipelajari. Guru dalam hal ini menjadi sangat sibuk dengan memberikan perhatian individual kepada anak yang berbeda-beda tingkat perkembangan dan ritme belajarnya.

4) Membangun kelas khusus untuk anak berbakat. Dalam hal ini anak-anak yang memiliki bakat/kemampuan yang kurang lebih sama dikumpulkan dan diberi pendidikan khusus yang berbeda dari kelas-kelas tradisional bagi anak-anak seusianya. Kelas seperti ini pun harus merupakan kelas kecil di mana pendekatan individual lebih diutamakan daripada pendekatan klasikal. Kelas khusus anak berbakat harus memiliki kurikulum khusus yang dirancang tersendiri sesuai dengan kebutuhan anak-anak berbakat. Sistem evaluasi dan pembelajarannyapun harus dibuat yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pergaulan Anak Berbakat
Anak berbakat seringkali lebih suka bergaul dengan anak-anak yang lebih tua dari segi usia, khususnya mereka yang memiliki keunggulan dalam bidang yang diminati. Misalnya saja ada anak kelas II Sekolah Dasar yang sangat suka bermain catur dengan orang-orang dewasa, karena jika ia bermain dengan teman sebayanya rasanya kurang berimbang. Dalam hal ini para orang tua dan guru harus memakluminya dan membiarkannya sejauh itu tidak merugikan perkembangan yang lain.

Di dalam keluarga pun oran gtua hendaknya mencarikan teman yang cocok bagi anak-anak berbakat sehingga ia tidak merasa kesepian dalam hidupnya. Jika ia tidak mendapat teman yang cocok, maka tidak jarang orang tua dan keluarga, menjadi teman pergaulan mereka. Umumnya anak berbakat lebih suka bertanya jawab hal-hal yang mendalam daripada hal-hal yang kecil dan remeh. Kesanggupan orang tua dan keluarga untuk bergaul dengan anak berbakat akan sangat membantu perkembangan dirinya.

Sumber: http://bruderfic.or.id/h-63

Standar Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal

Sebagai upaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas bagi anak usia dini, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun draf Standar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Nonformal. Standar ini mencakup seluruh pelayanan anak usia dini sejak lahir sampai dengan usia enam tahun, khusus untuk layanan PAUD Nonformal lebih memprioritaskan anak usia 0-4 tahun.

Direktur PAUD Depdiknas Gutama mengemukakan, sejak lama pemerintah dituntut oleh masyarakat untuk menyusun standar yang jelas. Selama ini, kata dia, kurikulum PAUD Nonformal pun belum ada, yang ada adalah acuan resmi dari Depdiknas, tetapi belum ada khusus yang dibuat karena standar nasionalnya belum ada. "Standar ini akan menjadi acuan kita,bukan standar yang maksimal tapi yang minimal," katanya pada Uji Publik Draf Standar PAUD Nonformal di Graha Depdiknas, Jakarta, Senin (24/03/2008) .

Hadir dalam acara Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Dirjen PMPTK) Baedhowi, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal (Dirjen PNFI) Ace Suryadi, Ketua BSNP Yunan Yusuf, dan para pengelola PAUD. Gutama mengatakan, standar ini disusun bukan untukmenghambat potensi PAUD di masyarakat yang sedang tumbuh dan berkembang, tetapi justru memberikan peluang agar mereka bisa tumbuh berkembang dan akhirnya mencapai standar minimal yang diharapkan. "Jangan sampai ada anak yang tidak mendapatkan sentuhan pendidikan sejak anak usia dini," ujarnya.

Anggani Sudono, Koordinator Penyusunan Standar PAUD Nonformal menyampaikan, tujuan diselenggarakan uji publik Standar PAUD Nonformal adalah untuk memperoleh masukan yang sebanyak-banyaknya agar standar ini sesuai dengan kehendak semua. "Sekaligus menjadi payung semua kegiatan anak usia dini yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di Indonesia," katanya.

Anggani mengatakan, anak usia dini apabila mendapatkan penanganan, pengasuhan, dan pendidikan sedini mungkin maka akan memberi dasar yang kuat untuk pendidikan selanjutnya. "Ini (PAUD) merupakan investasi dalam kehidupan selanjutnya. Standar PAUD akan diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia," katanya. Anggani menyebutkan, komponen standar pendidikan usia dini terdiri atas tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini; pendidik dan tenaga kependidikan PAUD; program, isi, proses, dan penilaian PAUD; infrastruktur pendukung, sarana, dan prasarana, serta pengelolaan dan pembiayaan.

Endang Ekowarni, Ketua Tim Ad hoc Penyusunan Standar PAUD mengatakan, pada komponen pertama standar yang disusun yakni bukan standar kelulusan, tetapi menggunakan istilah tingkat pencapaian perkembangan anak usia dini dengan target setiap tahap harus dicapai anak dengan sehat, cerdas, dan ceria. "Jadi sehat dan cerdas menurut tahap perkembangannya, dan ceria juga sesuai dengan usianya. Pada akhirnya mereka akan siap untuk mengikuti pendidikan formal."

Sumber: Pers Depdiknas

Pendidikan Nonformal di Daerah Perbatasan

Konon, Yayasan Peduli Pendidikan anak Indonesia yang sebelumnya bernama Forum Peduli Pendidikan Anak Indonesia telah berhasil mendirikan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di daerah perbatasan dengan Negara bagian sabah, Malaysia (Kompas, 22 nopember 2008). Dikatakan pula oleh Kompas bahwa ke dua PKBM itu dalam operasionalnya belum pernah mendapatkan bantuan dana maupun sarana prasarana dari pemerintah (Depdiknas), dalam menjalankan operasionalisasi PKBM hanya mengandalkan iuran dari para peserta didik serta donatur yang peduli terhadap pemberdayaan masyarakat marginal yang belum tersentuh pendidikan karena keterbatasan ekonomi keluarga maupun adanya kendala geografis.

Kondisi semacam ini hendaknya bisa ditangkap oleh para pekerja pendidikan nonformal yang kantornya berdekatan dengan daerah perbatasan dibawah koordinasi subdin pendidikan nonformal propinsi ataupun BPPNFI. Hal ini tentunya dengan mengalokasikan dana yang cukup besar untuk block grand, program pendidikan keterampilan hidup (life skill), Kursus kewirausahaan Desa (KWD) serta dana Kelompok Belajar Usaha (KBU). Program-program diatas menurut penulis sangatlah cocok diberikan pada masyarakat perbatasan karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup dan pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-harinya. Seperti diketahui bahwa program kecakapan hidup pada hakekatnya merupakan upaya untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, sikap dan kemampuan yang memungkinkan warga belajar dapat hidup mandiri. Dalam implementasinya, program life skills berprinsip pada empat pilar pendidikan sebagaimana dikemukakan Unesco (Ditjen Diklusepa, 2003), yaitu: learning to know (belajar untuk memperoleh pengetahuan), learning to do (belajar untuk dapat berbuat/melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadikan dirinya sebagai orang berguna), dan learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama dengan orang lain). Begitu juga dengan program KWD maupun KBU yang prinsipnya sama,
Disinilah peran dari para pekerja pendidikan nonformal di lingkungan Ditjen PNF untuk membelajarkan masyarakat daerah perbatasan agar kualitas hidupnya meningkat sejajar dengan warga negara lain yang sama2 hidup di perbatasan. Artinya program2 PNF yang dikembangkan di daerah perbatasan haruslah dikelola, dikerjakan dan dilaksanakan dan diprogramkan dengan serius dan sungguh2, bukan sekedar berjalan untuk “menggugurkan” kewajiban.

Berdasarkan catatan yang ada, beberapa sanggar kegiatan belajar yang berada atau dekat dengan wilayah perbatasan adalah sanggar kegiatan belajar yang berada di daerah Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Negara Timor Timur dan sanggar kegiatan belajar di Kalimantan yang berdekatan dengan wilayah Negara Malaysia, juga Sulawesi Utara dan Papua. Sayangnya keberadan “Dinas Pendidikan” yang berada dekat perbatasan dengan Negara lain itu tupoksinya kurang dapat dimainkan secara optimal, padahal disana sangat rawan dengan persengketaan wilayah perbatasan yang bisa mengarah pada sengketa politik maupun bentrok bersenjata. Seandainya program-program pendidikan nonformal yang diarahkan ke daerah perbatasan, dikelola dengan sungguh-sungguh, pastilah taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan akan meningkat dan tidak mudah tergoda untuk pindah kewarganegaraan atau lari menyeberang ke Negara tetangga. Program ini tentunya akan menarik jika bisa dikerjasamakan dengan Tentara yang bertugas diperbatasan untuk mewujudkan konsep kemanunggalan ABRI dan rakyat yang sering didengungkan dalam acara seremonial. Paling tidak konsep OBAMA (Operasi Bhakti Abri Manunggal Aksara) bisa di tata ulang kembali disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini.
Mudah-mudahan wacana sederhana yang digulirkan penulis bisa menjadi inspirasi positif dalam arti bisa turut mewarnai kebijakan yang akan (dan mungkin) sedang disusun untuk tahun anggaran 2009. yakinlah bahwa bersama kita bisa berbuat untuk kemaslahatan umat. Wassalam.

*penulis adalah pamong belajar bppnfi reg-4 surabaya
(admin)

Sumber: edi Basuki

Anggaran Pendidikan Non-Formal Tahun 2008 Naik

Rab, Nov 14, 2007

Pendidikan & Budaya

Jakarta ( Berita ) : Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, di Jakarta, Selasa [13/11] , mengatakan anggaran untuk pendidikan dasar non-formal terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan tahun 2008 pemerintah telah menyiapkan dana Rp2,5 triliun.

“Pada tahun 2005 anggaran sektor ini hanya Rp1,4 triliun, lalu naik di tahun 2006 jadi Rp2,1 triliun, dan tahun 2007 Rp2,4 triliun,” kata Bambang usai rapat di Kantor Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra).

Dalam kesempatan itu Mendiknas menjelaskan program-program pendidikan dasar non-formal bertujuan menjangkau kawasan terpencil yang banyak memiliki angka putus sekolah, dan diharapkan lewat program ini kemiskinan bisa dikurangi.

“Pendidikan dasar non-formal terdiri atas pendidikan keaksaraan dan pendidikan kesetaraan,” ujar Bambang dan menambahkan, “Keduanya mengajarkan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kecakapan hidup serta bantuan sedikit dana modal usaha.”

Ia menegaskan, target utama program ini adalah mereka yang putus sekolah dan hidup di pedesaan terpencil atau sulit mendapat akses ke kota.

“Dengan dana Rp2,5 triliun, kami perkirakan program bisa dinikmati oleh sekitar 12 juta orang di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Menurut data Departemen Pendidikan Nasional, program pendidikan non-formal telah mencatatkan keberhasilan yang signifikan dalam hal penurunan angka buta huruf dan pengangguran.

“Sekitar 80 persen peserta didik program keaksaraan berhasil membentuk Kelompok Belajar Usaha (KBU), dan mereka mandiri walaupun tetap butuh bantuan modal,” tambahnya.

Sejak program ini digulirkan pada tahun 2004 di enam kabupaten di Indonesia, lanjut Bambang, sekitar 82 persen peserta program sudah bisa mandiri dengan bidang usaha yang ditekuni.

Bank Dunia pun berniat memberikan hibah 143 juta dolar Amerika dan pinjaman lunak 100 juta dolar untuk mendukung program ini, ujar Mendiknas.

Angka buta aksara di Indonesia terus menunjukkan penurunan, pada Oktober 2007 tercatat tinggal 11 juta orang atau 7,2 persen populasi berusia di atas 15 tahun yang tidak bisa baca tulis. Angka itu jauh lebih rendah daripada data tahun 2004 yang 10,2 persen. “Keberhasilan program keaksaraan di Indonesia ini sangat diapresiasi UNESCO, bahkan dijadikan percontohan buat negara-negara lain,” kata Bambang. ( ant )