Thursday, June 11, 2009

Keilmuan di Pesantren Harus Terus Dikembangkan

Kamis, 30 Oktober 2008
Jakarta (www.pondokpesantren.net) - Pesantren itu dunia yang paling sulit untuk distandarisasi keilmuannya. Sebab ada pesantren yang dibentuk setelah adanya pertimbangan yang matang berdasarkan satu visibility study, tetapi juga ada yang dibesarkan karena hobi. Demikian dikatakan KH. Tolhah Hasan pada acara Halaqah Pengembangan Pondok Pesantren di Hotel Millennium Jakarta Minggu (26/10/2008) yang diadakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI.
Yang kemudian terjadi adalah munculnya masalah pada visi keilmuan pesantren itu sendiri. Kitab-kitab yang diajarkan di pesantren kalau mau dilihat secara keilmuan masih-lah sangat njomplang (timpang - red). Keilmuan di pesantren itu terlalu fiqhiyah, orientasi pada ilmu agama ke fiqh. Jarang sekali yang mendalami keilmuan agama seperti tafsir misalnya, imbuhnya.

Lebih lanjut mantan Menteri Agama pada masa Gus Dur ini berujar, di Indonesia ini ada sekian ribu madzhab tahfidzul Qur’an. Tapi sampai pada hari ini, hanya terbatas pada tahfidz. Tidak ada dari sekian ribu itu yang mengembangkan keilmuannya lebih lanjut, menjadi tafhimul Qur’an. Saya melihat contohnya di Sudan, di sana sudah ada Jami’ah al-Qur’anul Karim. Itu yang S3-nya Jami’ah al-Qur’anul Karim ini, asbabun nuzul itu sudah dihafal di luar kepala. Mengapa di Indonesia tidak bisa? Saya sudah berbicara dengan kyai-kyai tahfidzul Qur’an, kenapa tidak melakukan asosiasi? Yang salah satunya nanti diangkat menjadi pesantren tahfidzul Qur’an lanjutan. Sehingga mempelajari ulumul Qur’an tidak terbatas pada tartil dan tahfidz, sampai pada ilmu-ilmu Qur’an semisal asbabun nuzul dan juga yang lain. Sehingga Indonesia memilki ahli-ahli al-Qur’an yang bagus. Sambungnya.

Misalnya di UIN Malang sudah melahirkan seorang ahli fisika yang juga hafal al-Qur’an. Suruh meneruskan saja itu, studi al-Qur’annya dalam bidang fisika. Ini yang namanya Islamisasi keilmuan. Sehingga kita nanti memiliki seorang ahli al-Qur’an yang paham fisika di dalam al-Qur’an. Tapi kita miskin dalam hal gagasan-gagasan semacam ini. Hampir 800 ayat al-Qur’an yang mengandung masalah sains, tapi sampai hari ini di Indonesia itu belum ada satu pun tafsir tentang sains.

Dulu pada masa Presiden Habibie, kami pernah mengusulkan untuk membentuk satu tafsir tematik al-Qur’an ini. Tafsir mengenai politik, tafsir mengenai ekonomi, juga tafsir sains. Sayang di Indonesia ini kalau sudah ganti menteri maka ganti kebijakan. Gagasnya.

Oleh karena itu, mengapa visi keilmuan kita tidak pernah menjadi guru di dunia, karena memang keilmuan kita banyak yang nanggung. Demikian juga dengan referensi bahan bacaan dan fasilitas kita itu terbatas sekali jenisnya maupun jumlahnya. Tafsir yang disediakan di pesantren itu paling banyak hanya tafsir Jalalain. Untung kalau ada misalnya tafsir ibn Qatsir atau tafsir Ibn Qayim. Tafsir yang lain yang termasuk kuning, itu hampir-hampir tidak terbaca.

Beliau lalu bercerita, dulu waktu nyantri di pondok Tebuireng Jombang, al-Kutubus sittah itu dibaca. Dan ijazah tanpa kertas, ijazah safahiyah dari kyai yang mengajarkan pada santri yang mengaji itu. Masalah sanad minal muallif itu jelas. Riwayat guru mengajar murid sampai pada muallif itu ada. Dan sekarang kyai yang baca ini tidak ada.

Memang pesantren sekarang ini berkembang. Jumlahnya tambah dan gedungnya bagus-bagus, tapi dari segi kualitas ini mengalami semacam penurunan. Saya masih mengaji pada Mbah Idris (Tebuireng), sekali dalam seminggu, selama tiga jam dan itu mengaji tiga tafsir sekaligus. Tafsir ibn Qayim, tafsir Baidhawi, dan Tafsir Ibnu Katsir. Sembilan santrinya disuruh membaca sendiri sampai selesai. Tapi kadang, baru setengah jam saja, beliau sudah memberi komentar panjang lebar.

Di pesantren kita itu, kebanyakan tidak seimbang antara pengajian fiqh dan ushul fiqhnya. Fiqihnya sudah fathul wahab, ushulnya baru waraqat. Ini tidak pas. Sehingga pemahaman fiqh hanya sebagai produk tidak sebagai proses. Dari sini dapat dilihat bahwa memang pembacaan pada kitab memang kurang. Kitab bagus semisal karya Said Ramadhan al-Buthi, Dhawahibul Maslahat fi Syar’i Islamiyah, kitab semacam ini sama sekali tidak terbaca. Padahal kalau kita buka apa yang ditulis Said Ramadhan, Ibrahim Sulaiman, ini salafi semua. Mengutip dan menguraikan pendapat-pendapat ulama dahulu.

Mantan Direktur Pascasarjana UIN Malang ini kemudian mengusulkan bahwa pengayaan keilmuan di pesantren kalau kita mau mengembangkan pesantren adalah hal yang wajib, kalau kita mau memperluas cakrawala keilmuan betul-betul dapat diwujudkan. Dan saya mengusulkan bantuan pada pesantren itu bukan dalam bentuk bangunan atau komputer, tapi buatlah perpustakaan yang dapat diakses para santri. Bukan hanya diakses oleh kyai. Sebab kalau perpustakaan itu ada di rumah kyai, maka santri tidak berani masuk. Jadi kiainya yang semakin pintar, sedangkan santrinya tidak. Karena memang kebanyakan perpustakaan di pesantren itu ada di rumah kyai. Padahal ini merupakan satu bagian bentuk penambah dan pembuka cakrawala wawasan santri. Apakah itu perpustakaan dalam bentuk buku, maupun dalam bentuk digital.

Lebih lanjut beliau berujar, untuk betul-betul memahami agama tidak hanya melalui pembelajaran ilmu agama, tetapi juga harus ada sisi lain yang dilakukan, pengalaman beragama. Pendidikan agama yang kita kembangkan sekarang ini hanyalah pembelajaran ilmu agama. Tapi bukan pengembangan pengalaman agama. Menurut saya, amal-amal yang menjadi bagian-bagian pengalaman keagamaan menentukan sekali kualitas pesantren kita. Banyak sekali misalnya, orang-orang yang pandai sekali berdalil, namun, sekedar dalil untuk mendalili orang lain, dia tidak pernah melakukan apa yang diperintahkannya pada orang lain.

Oleh karena itu, saya menganjurkan agar gus-gus dari pesantren itu meningkatkan kemampuan mereka dengan menimba ilmu sebanyak mungkin. Dan dari pembicaran kami, Pak Menteri kemarin menjanjikan akan ada 10 tempat yang akan disediakan bagi para gus-gus dari pesantren untuk dapat melanjutkan studi ke luar negeri. Dan tentunya ini memakai seleksi. Saya usulkan minimal S2, kalau bisa S3. Apa kepentingannya? Pertama, agar supaya memperluas wawasan keilmuan Islam saat ini. Kedua, agar memiliki kredibilitas di kalangan pesantren. Dan ketiga, agar memiliki perbandingan antara pesantren di Indonesia dan di luar. Ini beberapa hal yang ingin kita sampaikan, agar dunia pesantren kita memiliki citra kegemilangannya. Ujarnya. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=126

PP. Al-Hikmah Tuan Rumah Silaturahmi Mahasiswa Santri Berprestasi

Jumat, 14 November 2008
Brebes (www.pondokpesantren.net) - Komitmen mahasiswa program ‘Beasiswa Santri Berprestasi’ kepada dunia pesantren harus terus menerus diteguhkan. Sebab, ada kekhawatiran setelah lulus dari perguruan tinggi, si mahasiswa lupa dengan pesantren dan juga nilai-nilainya. Demikian dikatakan Drs. H. Khaeroni, Kasubdit Pemberdayaan Santri dan Layanan Pada Masyarakat Direktorat PD Pontren Depag RI saat membuka rapat kordinasi dengan panitia lokal di PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah kemarin (11/11/08).

Seperti diketahui, PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah akan menjadi tuan rumah untuk pembinaan mahasiswa santri berprestasi. Acara sendiri akan berlangsung selama 4 hari, yakni mulai dari 11 hingga 14 Desember 2008. ‘kita ingin menyamakan visi, misi, dan persepsi kegiatan ini dengan pantia lokal’ sambungnya.

Sebanyak 1.035 santri dari sembilan perguruan tinggi ternama di Indonesia yang mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama RI akan mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan itu sendiri menurut Hj. Victoria, Kasi Pengembangan IPTEK pada Subdit Pemberdayaan Santri dan Layanan Pada Masyarakat Direktorat PD Pontren Depag RI, secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni pengabdian dan pembinaan. ‘sebanyak 445 mahasiswa baru akan menjadi peserta pembinaan. Sedang sisanya (mulai angkatan 2005 – 2007) akan mengikuti program pengabdian untuk pesantren’ tandasnya. Kegiatan pengabdian akan dibagi ke dalam 4 jenis kegiatan, dan pembinaan akan dibagi ke dalam 2 jenis kegiatan.

Sementara KH. Masruri Mughni, Pengasuh PP. Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes Jawa Tengah sangat menyambut baik acara dari Direktorat PD Pontren Depag RI tersebut. Dalam sambutannya, kiai kharismatik ini berujar, acara ini sesungguhnya adalah acara pondok, bukan acara Depag RI. Karenanya, semua panitia harus total. ‘Jangan pernah berpikir bahwa ini adalah acaranya Depag RI. Ini semua adalah acara kita’. Sambungnya.

‘Kami sangat menyambut baik acara semacam ini diadakan di pesantren. Karena saat ini banyak sekali nilai-nilai yang sudah dilupakan oleh para santri yang telah menjadi mahasiswa. Dengan acara semacam ini, berarti jalinan silaturrahmi akan terus terbina’ imbuhnya.

Seperti diketahui, acara di di Brebes itu sendiri merupakan yang ketiga kalinya, setelah yang pertama berlangsung di Hotel Grand Trawas Mojokerto (diikuti 250 peserta), kedua di Hotel Lembang Bandung (diikuti 615 peserta), dan ketiga ini di PP. Al-Hikmah Brebes. ‘Kegiatan ini sengaja kami adakan di pesantren karena dua hal, yakni program direktorat: back to pesantren, dan agar santri tidak lupa dengan nilai-nilai dan tradisi pesantren’. Tandas Drs. H. Khaeroni.

Acara yang sedianya akan dilaksanakan pada pertengahan November ini, tetapi karena satu dan lain hal kemudian diundur ini sendiri setidaknya akan melibatkan sekitar 2.000 santri, 300 ustadz dan 300 masyarakat sekitar pesantren Al-Hikmah. [bet]

sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=136

PD Pontren adakan Workshop Program Pembibitan Santri

Rabu, 26 November 2008
Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Dalam rangka menjaring santri-santri berbakat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren mengadakan “Workshop Penguatan Mutu Lulusan Pendidikan Tingkat Menengah Berbasis Pesantren – Program Pembibitan Santri Pondok Pesantren” bekerjasama dengan LeKDIS Nusantara di Hotel Ibis Tamarin Jakarta.

Acara yang berlangsung dari tanggal 25 - 26 November 2008 ini dihadiri oleh 60 (enam puluh) orang para pemimpin pondok dan kepala madrasah aliyah pesantren se-Indonesia.

Dalam sambutan pembukaannya Prof. Dr. Muhammad Ali, MA, Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama RI mengatakan bahwa program ini bertujuan untuk menjaring santri-santri berbakat pada pendidikan menengah (madrasah aliyah) di pondok pesantren untuk kemudian dibekali dengan pengayaan materi di bidang sains sehingga mereka mampu bersaing dengan lulusan lembaga-lembaga pendidikan lain dalam memasuki perguruan tinggi unggulan.

Pemberian beasiswa dan pembibitan santri ini lanjut Ali, adalah juga bermaksud ingin menguji apakah potensi yang dimiliki para santri yang kebetulan mengikuti pendidikan di madrasah aliyah pesantren memungkinkan atau tidak untuk bersaing dengan lulusan pendidikan lembaga lain untuk memasuki ke perguruan tinggi umum.

Faktanya, dari 650 orang santri yang mengikuti program beasiswa santri berprestasi ternyata hanya 5 orang saja yang memperoleh IPK kurang dari 3,00. Hal ini berarti, tandas Ali ”margin error”nya kurang dari 1%, dan mereka juga mampu bersaing dengan lulusan sekolah umum.

Sebagaimana diketahui, Departemen Agama khususnya Direktorat PD Pontren mempunyai program beasiswa santri berprestasi yang sudah berlangsung selama 4 tahun (sejak 2004). Sedangkan program pembibitan santri adalah juga bagian dari program ini yang merupakan ”terobosan” dalam upaya mempersaingkan lulusan madrasah aliyah pesantren untuk memasuki perguruan tinggi unggulan.

Sementara itu H. Amin Haedari selaku Direktur PD Pontren dalam sambutan pengantarnya mengatakan bahwa teknis pelaksanaan pembibitan santri ini adalah dengan ”diambil”nya para santri dari madrasah aliyah pesantren saat menginjak semester 6 untuk dididik selama 3 bulan di Bandung. Jadi santri hanya mengikuti pelajaran di madrasah aliyah selama 5 semester sedangkan semester terakhir (semester 6), para santri akan dididik oleh team dari para pakar sains ITB. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=149

Kitab Kuning Trade Mark Pesantren

Selasa, 02 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) – “Kitab Kuning (turats) adalah simbol keilmuan pesantren; suatu trade mark yang lekat dengan dunia pesantren “, demikian dikatakan Drs. H. Suryadharma Ali, M. Si, Menteri Negara Koperasi Dan UKM pada pembukaan Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional III di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan (01/12/08).


Dalam kerangka itulah, lanjut Suryadharma, menyambut baik dan memberikan apresiasi yang sepatutnya terhadap penyelenggaraan Musabaqah Qira’at al-Kutub (MQK) ini sebagai ajang prestisius kalangan santri yang memiliki kualifikasi dan pendalaman isi kitab kuning.

Dan diharapkan, tandas Suryadharma, musabaqah ini dapat menjadi pemantik (trigger), daya dorong yang kuat bagi santri untuk mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu Islam dalam berbagai cabangnya seperti; Al-Qur’an, Hadits, Ushul, Lughah, dan lain-lain. Disamping itu, musabaqah ini bisa memperkuat fungsi pesantren, yakni maintenance of islamic knowledge (melestarikan warisan pengetahuan Islam yang diperoleh secara turun temurun dari generasi salaf as-shalih), dan melahirkan ulama yang berkarakter luhur dan memiliki kapasitas keilmuan tinggi.

Dalam wawancaranya dengan media, Suryadharma yang juga ketua salah satu parpol ini menegaskan bahwa kitab kuning menjadi pengetahuan yang komtemporer karena kitab kuning masih sangat relevan untuk dijadikan rujukan. “Kalau ada permasalah baru yang belum ada hukumnya, maka kitab kuning akan menjadi rujukan untuk memmecahkan masalah-masalah tersebut”.

Namun patut disayangkan, lanjut Suryadharma, sekarang ini tradisi menulis sekarang ini berkurang dibandingkan dengan pada jaman dulu. “Ulama‘ sekaliber Syekh Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Palimbani, Nawawi Al-Bantani, Mahfudz Termas, Ihsan Jampes, Soleh Darat Al-Samarani, dan Syekh Yasin Al-Padangi adalah ulama‘-penulis yang produktif dan menghasilkan karya-kaya monumental yang dapat dibaca dan dipelajari oleh kita hingga saat ini. Sayangnya, tradisi kepengarangan tersebut seakan padam di lingkungan pesantren”.

Namun hal lain yang positif, lanjut Suryadharma, tradisi membaca, memperdebatkan dan mempelajari kitab kuning terus berlangsung di pondok pesantren. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=154

Kontekstualisasi Kitab Kuning di Era Global

Rabu, 03 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) - ”Budaya kitab kuning yang menguasai pesantren, ternyata bisa diterapkan ditengah-tengah kehidupan masyarakat modern ini”. Demikian dikatakan Prof. Dr. KH. Tolchah Hasan, MA, Mantan Menteri Agama RI dalam sarasehan ”Memperkuat Kelembagaan MQK, Membangun Tradisi Keilmuan Pesantren” pada acara MQK Nasioanl III di Banjarmasi Kalimantan Selatan (2/1208).

Sesuai dengan tema ”Kontekstualisasi Kandungan Kitab Kuning di Era Global”, Kyai Tolhah mengatakan bahwa bukan sekarang saja kontekstualisasi terjadi akan tetapi sejak belum ada kitab kuning sampai kitab kunig mulai ada, usaha menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat telah terjadi.

Menyinggung tentang perkembangan kitab kuning sampai sekarang, lanjut Tolhah, lebih dikarenakan beberapa faktor; pertama, munculnya masyarakat muslim kosmopolitan yang membutuhkan pelayanan mulai akhir abad 1 H. Kedua, lahirnya ilmu-ilmu naqliyah & aqliyah secara spektakuler di dunia Islam. Ketiga, tersedianya fasilitas penulisan, terutama kertas. Keempat, banyaknya ulama dan cendekiawan Islam yang kompeten suka menulis dan membaca. Dan kelima sikap para penguasa yang cinta ilmu dan budaya.

Kemudian, mengapa kontekstualisasi kandungan kitab kuning menjadi penting, tegas murid KH. Hasyim Asy’ari. Pertama, adanya perubahan sistem sosial budaya. ”Kalau hal ini tidak diperhatikan maka masyarakat tidak akan lagi tertarik dengan pesantren”. Kedua, terjadinya realitas kepentingan umat.

Ketiga, adanya temuan baru dalam iptek. Dulu ulama berijma’ bahwa bumi ini tidak bergerak kecuali bila ada faktor lain. Kalau pemahaman ini tidak dikontekstualisasikan, maka kitab kuning tidak aka menarik untuk dipelajari. Keempat, adanya tantanga baru yang dihadapi umat. Maka, perlu ada kesepakatan baru para ulama tentang kedua hal terakhir tsb, tegas Tolhah.

Sementara itu H. Amin Haedari, Direktur PD Pontren Departemen Agama dalam sambutan sarasehan ini mengatakan bahwa dengan forum ini, tidak hanya musabaqah saja akan tetapi mencoba memberi rangsangan, memfasilitasi dan dorongan agar lahir lagi karya-karya ulama yang nantinya bisa mewarnai pemikiran keagamaan yang ada di Indonesia.

Sedangkan H. Abdullah Syarwani, mantan Duta Besar Lebanon, berbicara tentang pengembangan MQK, Ia berpendapat agar MQK ini menjadi leadnya pengembangan pesantren. Acara ini tidak hanya diselenggarakkan selama 2 tahun sekali, tetapi disetiap pesantren harus merupakan kegiatan yang berkesinambungan.

Bahkan bukan mustahil MQK akan lebih besar dan lebih strategis daripada MTQ kalau MTQ tidak diikuti musabaqah tafsirnya, lanjut Syarwani. Iqra dalam membaca kitab kuning bukan sekedar membaca secara fisik, melek huruf. Akan tetapi iqra diterjemahkan memahami secara mendalam, research. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=157

Santri Tidak Hanya Menguasai Kitab Kuning Saja

Sabtu, 06 Desember 2008
Banjarmasin (www.pondokpesantren.net) – “Mengingat kemajuan teknologi yang demikian pesat, maka para santri seharusnya tidak hanya mememiliki kemampuan di dalam memahami kitab kuning, akan tetapi juga harus memiliki kemampuan bidang-bidang yang lain sehingga dengan kemampunnya tersebut bisa memberikan manfaat kepada lebih banyak orang”. Demikian dikatakan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama, Prof. Dr. Muhammad Ali, MA, dalam sambutan penutupan MQK Nasional III di Banjarmasin (4/1208).

Menurut Ali, dalam perkembangan jaman, pesantren salafiyah tidak hanya mengembangkan dalam memahami kitab kuning saja namun juga dituntut kemampuannya dalam memahamami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang lain dalam kategori sains dan teknologi. Akan tetapi, sambung Ali, pemahaman terhadap kitab kuning masih dianggap sebagai tolok ukur utama santri di dalam menempuh pendidikan di pesantren. “Pemahaman akan kitab kuning adalah inti pengetahuan para santri khususnya yang mengembangkan pendidikan salafiyah. Oleh karena itu, pemahaman kitab kuning dianggap sebagai tolok ukur dari keberhasilan para santri menimba ilmu pengetahuan di pesantren”.

Bahkan kalau santri kembali ke masyarakat dan menjadi tokoh masyarakat serta membina pondok pesantren maka kemampuan tersebut masih menjadi tolok ukur dalam menilai apakah kyai atau ustadz tersebut merupakan "jebolan" pesantren dan menguasai ilmu agama atau tidak, tegas Ali

Pada jaman dahulu, Ali mencontohkan, kyai tidak hanya melayani masyarakat dengan mengajarkan kitab kuning semata-mata bahkan ketika ada masyarakat yang menderita sakit, kyai bisa memberikan pertolongan secara tradisional. Pertengkaran dalam keluarga pun bisa dipecahkan oleh sang kyai. Jadi artinya, kehadiran seorang kyai harus benar-benar memberi manfaat yang komprehensif di tengah-tengah masyarakat karena selain memeiliki kemampuan di bidang keagamaan, kyai juga memiliki kemampuan keilmuan yang lainnya.

Menyinggung terselenggaaranya MQK kali ini, Ali juga mengungkapan bahwa Forum/musabaqah ini bukan hanya untuk menilai kemampuan para santri di berbagai pondok pesantren dalam membaca dan memahami kitab kuning tetapi juga menjadi ajang silaturahmi antar pesantren se-Indonesia.

Dalama musabaqah ini, lanjut Ali, yang dinilai bukan hanya membaca kitab kuning dalam berbagai tingkatan dan berbagai ilmu pengetahuan akan tetapi di dalam memahami, menganalisis, serta mengaplikasikan apa yang tertulis di dalam kitab kuning atau apa yang dituangkan oleh pemikir salaf Islam. (pip)
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=161

Sebanyak 1010 Santri Ikuti Pembinaan di PP. Alhikmah 2 Brebes

Jumat, 12 Desember 2008
Brebes (www.pondokpesantren.net) - Sebanyak 1010 mahasiswa penerima beasiswa santri berprestasi dari Departemen Agama RI mengikuti program pengabdian dan pembinaan di pondok pesantren Alhikmah 2 Benda Sirampog Brebes. Penerima beasiswa yang tersebar di 9 perguruan tinggi ternama di Indonesia ini akan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan selama 4 hari, dari tanggal 11 sampai 14 Desember 2008.

Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI, H. Amin Haedari dalam sambutan pembukaannya mengungkapkan, kegiatan ini semestinya diikuti 1035 mahasiswa. Tapi yang bisa hadir hanya 1010 mahasiswa karena beberapa mahasiswa ada yang sedang ujian tengah semester (UTS).

Sebagai penanggung jawab program beasiswa santri berprestasi, Lebih lanjut dia mengungkapkan tujuan dikumpulkannya seluruh mahasiswa penerima beasiswa ini adalah untuk menguatkan ukhuwah ma’hadiyah, yaitu persaudaraan antar pondok pesantren. Silaturrrahmi antar penerima beasiswa santri berprestasi ini harus terus dilakukan agar terjadi komunikasi yang sinergis untuk memajukan dan mengabdi pada pondok pesantren’ sambungnya.

Kegiatan ini sendiri menurut dibagi menjadi dua, yaitu pengabdian dan pembinaan. Mahasiswa santri berprestasi angkatan 2005 – 2007 mengikuti kegiatan pengabdian, sedang angkatan 2008 mengikuti program pembinaan. Program pengabdian meliputi bimbingan belajar, penyuluhan pertanian, penyuluhan kesehatan, sunatan misal, hisab rukyat, bakti lingkungan, dan informasi perguruan tinggi. Sedang program pembinaan meliputi dua kegiatan, yakni pembentukan karakter (team building dan personal development) dan penguatan nilai-nilai kepesantrenan.

Kegiatan ini menurut rencana akan ditutup oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Dr. Muhammad Nuh pada hari Ahad, 14 Desember 2008 jam 13.00 WIB. [bet]
sumber: http://www.pondokpesantren.net/ponpren/index.php?option=com_content&task=view&id=165